Musik dianggap ‘bahasa universal’ yang dapat meningkatkan emosi pendengar, entah itu kebahagiaan, ataupun kesedihan. Biasanya musik menjadi teman atau soundtrack kehidupan disituasi apapun, ceria, bahagia, sendu, senang, marah, kecewa, dsb. Karena musik dipandang sebagai pemicu akselerasi perkembangan otak kanan manusia ternyata bisa digunakan juga dalam meningkatkan akselerasi dan kualitas manusia dalam belajar.
Dalam perkembangannya di Indonesia konser musik menjadi fenomena baru. Konser musik menjadi komoditi yang dikomersialisasikan, inilah industri budaya kapitalisme. Dimana hal yang dapat menguntungkan dijadikan komoditi, entah itu musik, tubuh, kecantikan, seni karena disitulah ladang kapitalisme yang memiliki nilai harga.
Sepertiyang diwartakan oleh Kompas.com(http://entertainment.kompas.com/read/2012/01/29/19540445/Tenggelam.dalam.Ekstase.Konser) Jakarta telah menjadi "ibu kota konser"seperti halnya Tokyo dan Singapura. Musisi besar mulai dari sekelas boyband hingga legenda seperti Carlos Santana dan John Mayall silih berganti tampil di Indonesia. Konser asing terbanyak terjadi Oktober 2011. Pada bulan itu, setidaknya digelar tujuh konser musisi asing.
Lalu siapa target konser musik yang diadakan sang pemilik modal atau promotor ? remaja. Pada berita tersebut saya mengutip hasil wawancara wartawan kompas dengan Tommy Pratama, promotor konser dariOriginal Production. Pasar konser terbesar saat ini ada di segmen remaja. "Mereka termasuk boros nonton konser," ujar Tommy.
Dari berita tersebut mereka berhasil menjadikan generasi muda menjadi penikmat konser musik, faktanya remaja tak peduli berapa pun harga tiket, mereka tergiur membeli. Sama-sama puas. Remaja puas nonton konser, sedangkan promotor atau pemilik modal juga berhasil menawarkan nilai konsumerisme dan juga puas tiket habis terjual.
Menurut Idy Subandy “saat ini tak ada satu pun ruang kebudayaan yang luput dari cengkeraman gurita kapitalisme, tak terkecuali industri musik anak muda.” (200 :h. 87)
Ketika sang pemilik modal menjual musik dengan bentuk konser, anak muda menjadi sasaran konsumen mereka. Kaum muda tak sadar selera musiknya telah direkayasa, lihat saja, boyband dan girlband ala Korea sedang marak dan digandrungi para remaja. Kegandrungan inilah hasil konstruksi pasar musik, berbagai acara musik lokal maupun internasional tak bosan-bosan menyajikan clip K-Pop, sampai-sampai pemilik modal mengadakan sebuah kompetisi Boyband dan Girlband ala K-Pop.
Kecintaan anak-anak muda di Indonesia terhadap artis atau band asing memang sudah sangat luar biasa. Rasa fanatik yang berlebih terhadap artis atau band tersebut, mereka ekspresikan melalui berbagai media. Pemuda/i bisa membeli poster foto artis atau band pujaan mereka dan mengoleksi kaset/CD/DVD album mereka. Namun, ada dua kebiasaan yang nampaknya sedang digandrungi anak-anak muda Indonesia untuk mengekspresikan kecintaannya kepada artis atau band kesayangan mereka, yakni nonton konser dan meniru busana atau kebiasaan artis atau band tersebut.
Konser Musik dan Sponsornya
Kebebasan berekspresi di Indonesia yang kian berkembang dan didukung juga dengan niat pemerintah yang menggalakkan parawisata Indonesia guna menambah devisa negara, secara tidak langsung turut berdampak pada industri hiburan, khususnya musik.
Belakangan ini industri musik Indonesia kian berkembang. Tak puas dengan kesuksesan artis atau band Tanah Air, artis atau band asing pun diundang ke Indonesia untuk unjuk kebolehan mereka.
Hal itulah yang tak disia-siakan oleh para pebisnis, khususnya para pebisnis yang juga gemar musik. Sebagai bukti kini telah banyak promotor-promotor bermunculan untuk berlomba-lomba membawa artis atau band musik asing untuk berkoar di Indonesia. Berbagai cara mereka lakukan untuk menghibur pecinta musik di Indonesia, meski tak lepas dari salah tujuan mereka lainnya, yakni mencari keuntungan.
Melihat animo masyarakat Indonesia yang tinggi untuk menghadiri konser-konser artis atau band asing, dimanfaatkan juga oleh para pelaku industri rokok. Perusahaan rokok berbagai merk berlomba-lomba mensponsori sebuah event. Perusahaan rokok yang memiliki dana besar berusaha membujuk dan merayu para promotor yang sangat jelas membutuhkan modal untuk mendatangkan artis atau band asing ke Indonesia, peluang telah terbuka. Hasilnya, hingga saat ini banyak konser-konser yang bernuansa rokok dengan industri rokok sebagai sponsor konser tersebut.
Banyak yang berpendapat bahwa perusahaan rokok hanya sebatas penyandang dana atas konser-konser, bahkan mereka menjadi sponsor tunggal. Banyak pula yang tak sadar bahwa konser-konser yang disponsori perusahaan rokok tidak memiliki motif apapun untuk mempengaruhi para remaja agar menjadi perokok pemula.
Dampaknya ialah industri rokok secara tidak langsung turut mempromosikan merek kepada para penonton konser khususnya anak-anak muda yang merupakan penonton mayoritas. Gencarnya iklan rokok di setiap konser musik dikhawatirkan dapat meningkatkan jumlah perokok remaja. Contohnya saja pada pada konser Katy Perry Anak muda berpenampilan meniru Katy, baju ketat dan rambut palsu warna-warni seperti permen lolipop, datang dengan wajah bergairah, seperti yang diwartakan Kompas.Com.
Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis(Baran & Davis, 2000: 184).Ya, mereka (baca: remaja) meniru idolanya. Jika dilihat dari teori kognitif sosial, situasi ‘meniru’ ini disebut obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Dapat disimpulkan bahwa asumsi dari teori kognitif sosial adalah bahwa proses belajar akan terjadi jika seseorang mengamati ‘seorang model’.Melalui pengamatan ini, orang tersebut akan mengembangkan harapan-harapan tentang apa yang akan terjadi jika ia melakukan perilaku yang sama dengan ‘sang model’. Harapan-harapan ini akan memengaruhi proses belajar perilaku dan jenis perilaku berikutnya yang akan muncul.
Bagaimana jika idolanya perokok, remaja tersebut bisa saja mengikuti perilaku idolanya. Atau idolanya menjadi model iklan produk rokok yang Tag line nya membentuk citra keperkasaan seksual lalu apa yang terjadi ? remaja menjadi ‘korban iklan’ dan menjadi perokok pemula. Mardiyah mengatakan :
“insight, dalam istilah periklanan, adalah sebua area yang dengan tepat menyentuh sisi psikologis konsumen. Begitu menonton iklan, konsumen akan langsung merasa berasosiasi dengan subyek dan topic dalam tayangan iklan. efek yang muncul tidak main-main. Citra produk yang diiklankan akan tertanam cukup dalam. Pesan, terutama merk, yang disampaikan bersangkutan akan melekat dalam ingatan si konsumen. Dan sangat boleh jadi dia akan dengan loyal mengkonsumsi rokok tersebut“ ( 2010: h. 33)
Musik adalah pangsa pasar bagi perusahaan rokok, mereka jeli bahwa musik sangat lekat bagi para remaja. Karena para remaja lebih bereaksi terhadap musik dan gambar. Dan mereka sangat konsumtif untuk membeli tiket konser musik yang telah menjadi trend saat ini. Mengambil kutipan Mardiyah dari hasil penelitiannya mengenai Kemunafikan dan Mitos di balik kedigdayaan Industri Rokok, “Bagi anak muda, acara festival musik tentulah sangat memikat. Betapa tidak, di sana ada musik, teman sehobi, persaingan meraih hadiah, gadis cantik,plus rokok gratis. Racikan yang tepat untuk mengundang para remaja tanggung memasuki dunia adiksi nikotin.”
Daftar Pustaka:
Ibrahim, Idy Subandy. (2007). Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta:Jalasutra
Baran, S.J & D.K. Davis. (2000). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth
Chamim, Mardiyah. Gaban, Farid. Hamzah Alfian. (2010). Kemunafikan dan Mitos di Balik Kedigdayaan Industri Rokok. Jakarta:Komisi Nasional Perlindungan Anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H