Karawang, 17 Agustus 2024
Dalam merayakan hari bersejarah ini, kita harus dengan jujur bertanya: sejauh mana kita benar-benar merdeka dalam ranah teknologi dan digital? Di tengah gempuran globalisasi dan revolusi industri 4.0, kedaulatan tidak hanya berarti kemampuan menentukan nasib bangsa tanpa intervensi asing, tetapi juga berarti kemampuan untuk mandiri dalam teknologi yang kian hari kian mengendalikan arah dan masa depan bangsa kita.
Ironisnya, di saat kita mengibarkan bendera sebagai simbol kemerdekaan, kita justru terjajah oleh teknologi asing. Ketergantungan Indonesia terhadap perangkat keras dan lunak dari luar negeri sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Lebih dari itu, berbagai kasus kebobrokan digital yang mencuat belakangan ini telah memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi kedaulatan teknologi kita. Salah satu contoh nyata adalah kebocoran data BPJS Kesehatan pada tahun 2021, Â dimana lebih dari 200 juta data pribadi warga Indonesia, termasuk informasi medis yang seharusnya dijaga ketat, terpapar di internet tanpa perlindungan. Lalu kasus kebobolan pada pusat data nasional 2 yang membuat publik kian ragu dengan kapabilitas pemerintahan Indonesia dalam melindungi kedaulatan digital bangsa.
Kasus-kasus lainnya tak kalah memprihatinkan. Bocornya data pemilih pada Pemilu 2019, serangan siber terhadap berbagai instansi pemerintah, lemahnya perlindungan terhadap data pribadi di sektor swasta, Hingga pencatutan NIK yang dimanfaatkan dalam setiap momen politik, semuanya menunjukkan satu hal: Indonesia belum mampu memastikan keamanan dan integritas data warganya. Kegagalan ini bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga kegagalan sistemik yang mencerminkan kurangnya prioritas terhadap penguatan kedaulatan digital dalam agenda nasional.
Padahal, konstitusi kita, melalui Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sudah dengan jelas menjamin hak setiap warga negara atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta peraturan turunannya, seperti PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, seharusnya menjadi landasan kuat bagi pemerintah untuk memastikan keamanan digital. Namun, kenyataannya, penegakan regulasi ini masih jauh dari memadai. Pemerintah seringkali lamban dalam merespon insiden keamanan digital, dan ketika tindakan diambil, hasilnya jarang memberikan efek jera atau meningkatkan keamanan secara signifikan.
Inilah tantangan besar bagi kita sebagai bangsa yang merdeka. Tanpa kedaulatan teknologi, kita akan terus berada di bawah bayang-bayang kekuatan asing yang mengendalikan akses dan penggunaan teknologi di tanah air kita sendiri. Kita perlu investasi yang serius dalam riset dan pengembangan teknologi dalam negeri, membangun ekosistem yang mendukung inovasi lokal, dan mendorong talenta muda untuk mengambil peran aktif dalam menciptakan solusi teknologi yang original dan relevan.
Sebagai mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Mahasiswa Informatika dan Komputer Nasional , kami menyadari betul pentingnya peran generasi muda dalam perjuangan ini. Mahasiswa dan pemuda Indonesia tidak bisa lagi hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi harus berani menjadi pencipta, inovator, dan pelindung kedaulatan digital bangsa. Jika kita ingin benar-benar merdeka, kita harus mulai dari sini---dengan mengklaim kembali kendali atas teknologi yang kita gunakan dan kembangkan.
kemerdekaan sejati yaitu ketika kita bisa berdiri tegak sebagai bangsa yang mandiri, tanpa takut dirampas hak-haknya oleh kekuatan teknologi asing dan memberdayakan sumber daya lokal.
Selamat 79 tahun indonesia
hormat, Kelvin Hudqof Akbar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H