Untuk urusan manuver politik, SBY memang cerdas. Berkali-kali, ia berhasil mengubah peta politik dalam waktu relatif singkat. Kelemahannya hanyalah keengganannya membuat kesal terlalu banyak pihak, alias mau membuat semua pihak senang, khususnya pihak-pihak yang berpengaruh. Buat kawan-kawan kompasianer, silakan setuju atau tidak setuju dengan ulasannya ini. Coba kita lihat ya perjalanan SBY sejak sebelum jadi presiden sampai saat ini, setahun menjelang berakhirnya masa kedua jabatan presiden.
Apa boleh buat saya harus angkat topi atas kecerdasan SBY, dalam menghadapi berbagai hal di bidang politik. Apalagi jika dibandingkan dengan pemimpin politik lain di Indonesia saat ini.
Pertama, namanya mencuat dan mulai dilirik ketika Soeharto masih berkuasa. Ia memang cerdas, sehingga mendapatkan sorotan positif sebagai prajurit cedas, calon pemimpin masa depan. Saat itu, SBY “hanya” bersaing dengan Prabowo yang bintangnya bersinar sangat terang.
Kedua, ketika pemerintahan Soeharto jatuh, nama SBY makin bersinar. Ia diperhitungkan para politisi sebagai tentara yang reformis. Citra prajurit cerdas masih melekat erat. Tak salah jika jabatan menteri langsung hinggap di pundaknya. Era Reformasi menjadi salah satu tonggak dasar melejitnya SBY.
Ketiga, inilah yang paling ramai dibicarakan masyarakat, ketika SBY menjadi menteri-nya Megawati. Menjelang Pemilu 2014, SBY teraniaya oleh Taufik Kiemas, suami Mega, yang menyebutnya sebagai jenderal kekanak-kanakan. Publik mendukung SBY dan antipati terhadap TK serta Mega. Hasilnya... SBY jadi presiden. Cerdas bukan?
Keempat, selama masa kepemimpinan SBY, situasi politik ramai sekali namun tetap terkendali. Hal ini yang sulit dilakukan oleh Gus Dur atau Megawati, atau bahkan oleh Soeharto sekalipun. Pada masa Soeharto, politik stabil tapi dia menggunakan cara represif. SBY? Tidak sama sekali. Tidak bisa presiden menggunakan cara represif. Justru disinilah letak kecerdasan SBY. Dia mampu membuat politik yang ramai itu, tetap terjaga keseimbangannya. Dia lentur. Ketika diserang dia mengelak, ketika punya kesempatan menyerang, dia gunakan dengan cara yang lembut. Akibatnya? Tidak ada gonjang ganjing keterlaluan selama 2004-2009. Hasilnya? SBY terpilih kembali sebagai presiden pada 2009.
Kelima, inilah saat-saat krusial SBY. Masa kepemimpinan edisi kedua yang keramaian politiknya mulai amat gaduh. Semua hal dikaitkan dengan politik. Semua pihak berkepentingan saling serang untuk tujuannya masing-masing. Demokrat yang identik dengan SBY, diobrak-abrik baik dari dalam maupun dari luar. Demokrat rusak, pemerintahannya pun goyang. Di sinilah letak kecerdasan SBY. Dia turun gunung. Kembali mengambil tampuk kepemimpinan Demokrat. Lalu rusaknya Demokrat diobatinya dengan cara menggelar konvensi calon presiden... sejumlah tokoh independen, bahkan tokoh dari parti lain, ikut serta. Nah lho. Pemerintahan? Tetap stabil dengan perkuatan koalisi. Hasilnya? Belum terlihat benar sih sampai tulisan ini dibuat, namun Demokrat mulai dilirik lagi. Masa kepemimpinannya sebagai presiden pun tampaknya akan tuntas sampai Oktober 2014.
Bagaimana pun, dilihat dari sisi manapun, dengan segala kekurangannya, SBY memang sosok pemimpin yang cerdas. Negatifnya pasti ada dong. Pasti. Tapi harus diakui, dia memang cerdas. Kalau mau mengalahkan SBY, ya harus lebih cerdas...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H