Menyimak perjalanan Anas Urbaningrum dan loyalisnya, makin menguatkan keyakinan saya tentang egoisme orang Indonesia terutama para politikusnya, dan kurangnya etika dalam berorganisasi.
Dari sejumlah contoh masa lalu, kita juga bisa belajar bagaimana egoisme orang Indonesia dan pelaksanaan etika dalam berpolitik. Yuk kita bahas satu persatu, sampai akhirnya melihat kekinian sikaf dan sifat para politisi kita. Hal ini penting sebagai sumber pembelajaran dan cermin buat siapapun yang mau terjun ke dunia politik. Bahwa... berpolitik itu tidak sekadar mengandakan kekuatan dan kepentingan. Di atas itu masih ada etika dan budaya.
Zaman dulu, tahun 1955 ketika Indonesia mulai belajar berdemokrasi. Sungguh terlihat betapa egoisnya para politisi saat itu. Setiap orang berlomba lomba bikin partai, berkompetisi menunjukkan diri sebagai pihak yang peduli pada bangsanya. Setiap pihak mengklaim berjuang untuk kepentingan rakyat. Jika dilihat semua partai itu, sebenarnya tujuannya sama. Sama sama berjuang untuk kepentingan rakyat. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Para pejuang kepentingan rakyat itu justru gontok-gontokkan tanpa ujung. Hasil pemilu 1955, kacau. Pemerintahan hanya seumur jagung, silih berganti. Katanya sama sama memperjuangkan rakyat, tapi egoisme masing-masing pimpinan parpol sungguh kentara.
Beralih ke masa orde baru. Hasil perubahan pasca G30S PKI, membuat situasi politik berubah tajam. Pemerintah setelah tahun 1972, hanya membolehkan 3 partai politik. Itupun salah satunya disebut sebagai golongan karya, bukan parpol. Hasilnya? Pada awalnya baik. Ketiga parpol tersebut justru tidak terlihat sungguh sungguh bersaing, karena kontrol ketat pemerintah. Hanya salah satu parpol yaitu Golkar yang dominan. Sisanya mirip sebagai penggembira saja. Stabilitas politik jelas lebih bagus. Jarang sekali ada gonjang-ganjing politik, kecuali berasal dari luar parpol. Namun, egoisme tetaplah egoisme. Makin ke sini, egoisme penguasa dan lingkaran di sekitar penguasa sungguh keterlaluan. Korupsi sebagai simbol egoisme tertinggi seorang manusia dengan kepentingan pribadinya, merajalela. Etika pun kemudian tak nampak sama sekali.
Datanglah era reformasi. Egoisme individu yang kentara di masa orde baru lewat praktik korupsinya, berpindah haluan. Pada era reformasi, orang-orang yang merasa mampu dan punya sedikit kekuatan, berbondong-bondong membuat partai politik. Doktrin nenek moyang, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, tidak berlaku buat para politikus. Mereka justru tercerai berai dalam lebih dari 50 partai politik, memperebutkan kekuasaan yang ditinggalkan Soeharto. Lewat seleksi pun, akhirnya Pemilu 1999 diikuti oleh 49 parpol. Alamak, banyak sekali orang egois di negeri ini. Kelompok a, bikin parpol. Aliran b, bikin parpol. Kelompok keagamaan c, d, e, f, juga bikin parpol. Organisasi massa, buruh, tani dll juga bikin parpol.
Entahlah mereka belajar hukum alam di mana, hehe. Makin tercerai berai begitu, sudah pasti perolehan suara akan keciiiil. Tapi egoisme kadang menghilangkan ilmu, logika dan pelajaran bijak. Mereka tetap maju, untuk kemudian rontok, karena perolehan suara yang terlalu kecil. Suara tak didapat, kepentingan pun tak ada salurannya. Setelah kalah, barulah sadar dan bergabung dengan kekuatan yang lebih besar. Bodoh sekali. Padahal, kalau sudah bergabung sejak awal, banyak hal yang bisa dilakukan bersama-sama.
Pada era reformasi pula, para kutu loncat, para loyalis yang kemudian tidak loyal lagi, para oportunis menunjukkan sifat egoisnya. Lihatlah sejumlah tokoh, yang merasa punya kekuatan (baik pendukung maupun dana) dengan mudahnya berpindah parpol. Kecewa terhadap parpol A, dia dengan enteng berpindah ke parpol B. Bahkan lebih tolol lagi, ketika ada tokoh yang bersaing menjadi Ketua Umum Parpol A, tapi karena kalah, dia kecewa lalu membuat parpol baru. Alamak. Calon ketua umum parpol adalah kader terbaik sebuah parpol. Lha, bagaimana mungkin kader terbaik, hanya karena kecewa kalah bersaing, lalu dengan entengnya meninggalkan parpol tersebut? Di mana letak etika berpolitiknya?
Seharusnya dia berjuang keras di parpol tersebut, membuktikan diri bahwa dia mampu, memberikan kontribusi positif buat parpol, tetap mendukung parpolnya dan hal hal positif lainnya. Namun, ego... sekali lagi ego... membuatnya lupa daratan. Sayang sekali, jika Indonesia dipenuhi pemimpin dan calon pemimpin yang egoisnya tak ketulungan seperti itu. Mengurus parpolnya saja tidak bisa, malah lari dari masalah di parpolnya, eh bikin parpol baru. Eh mau mimpin Indonesia pula.... Capek deh!
Hal itu pula yang sangat disayangkan terjadi pada Anas Urbaningrum serta para loyalisnya. Kecewa sudah pasti, karena terdepak dari parpol. Jika tujuan mereka masuk ke parpol tersebut bukan semata-mata kekuasaan, pasti tidak akan terjadi seperti sekarang. Tunggu saja hasil dari KPK tentang kasus Anas. Bukan malah menyerang balik parpol, yang dulu menjadi kandang mereka. Dulu menyanjung, kok sekarang jadi seperti musuh paling berat. Etika politik, etika seorang manusia biasa, etika berorganisasi, telah terlecehkan.
Sayang sekali, padahal orang sekelas Akbar Tanjung, yang cukup lama tersakiti di Golkar, tetap saja berada di Golkar dengan segala sakit hatinya. Dia tetap membimbing juniornya, tetap memberikan teladan dengan segala kekurangannya. Secara umum, etika tetap dia jaga dan egoismenya ditekan habis. Kalau menuruti ego, orang sekelas Akbar Tanjung pasti mampu mendirikan partai politik baru, apalagi hanya sekadar perhimpunan atau perkumpulan.
Kalau melihat seluruh perjalanan sejak dulu sampai sekarang, kita masyarakat memang harus masih menunggu waktu lama, untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Pemimpinnya baik, dan yang dipimpin pun baik. Yang memimpin tidak egois dan tahu etika, yang dipimpin pun tidak egois dan tahu etika. Salah satu saja, egois dan tidak tahu etika, kondisi menjadi tidak stabil.