Mohon tunggu...
solehuddin dori
solehuddin dori Mohon Tunggu... -

Pengamat berbagai masalah sosial, politik, budaya dan ekomomi, yang berpikiran jernih dan bebas kepentingan apapun. Ingin melihat Indonesia yang maju dan sejahtera.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenapa Demokrat dan SBY Masih Laku?

1 April 2014   16:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:13 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejumlah berita di media massa, belakangan ini menggelitik rasa dan pikir saya. Beberapa diantaranya berbunyi seperti ini:

“Demokrat Masih Laku...”

“Elektabilitas Demokrat Naik...”

Kok bisa ya, partai yang selama setahunan terakhir diterpa banyak masalah, dihunjam isu kasus korupsi, diserang banyak media massa, tapi menjelang pemilu kok masih laku? Yang mengatakan masih laku bukan hanya orang Demokratnya tapi juga pihak lain ternasuk para pengamat politik.

Hobi saya nih mengutak atik fakta yang menarik. Bagaimana ceritanya Demokrat yang dianggap para pakar dan media massa, akan hancur-hancuran di pemilu 2014 ini, tapi kenyataannya masih laku di masayarakt akar rumput. Pasti ada sesuatu yang menarik. Dan setelah saya cermati, memang menarik banget, hehe...

Dalam ilmu penyiaran (komunikasi) ada yang disebut sebagai realitas maya. Sebuah realitas yang hanya ada di layar televisi atau ruang dengar radio. Sesungguhnya realitas itu tidak ada di kenyataannya atau walaupun ada, sangat minim. Nah, saya melihat ada realitas maya dalam kasus partai Demokrat ini. Di media massa yang dimonopoli kekuatan politik tertentu, tergambar seolah-olah Demokrat jelek banget. Rusak deh. Tapi, ternyata hal itu hanya realitas maya berkat “kehebatan” para penggara media massanya dalam memilih sudut pandang dan narasumber untuk tayangannya. Mereka subjektif dalam menentukan semua itu.

Hasilnya... fakta semu muncul di media massa, berupa fakta yang diciptakan oleh para penggawa media tersebut. Fakta itu bisa jadi fakta sesungguhnya, jika unsur subjetivitasnya makin rendah. Namun, kalau subjektivitasnya tinggi, maka fakta semua atau realitas medianya akan sangat tinggi juga, dan makin tidak sesuai dengan kenyataan di dunia nyata. Walaupun pada titik tertentu, fakta media ini sangat berpengaruh terhadap persepsi publik. Dan memang itulah yang diharapkan para pembuat agenda setting (atau propagandis).

Jika melihat kondisi sekarang, memang benar, fakta media sangat kental dan bahkan persepsi publik terhadap Demokrat cenderung negatif. Tapi, persepsi publik itu hanyalah publik yang terdeteksi oleh media atau lembaga survey, sedangkan akar rumput kerapkali tak terdeteksi dan justru baru kelihatan sekarang dan nanti pas hari pencoblosan. Mungkin inilah yang sering membuat lembaga survey keliru memprediksi hasil, hehe.

Akhir pekan kemarin, saya jalan-jalan ke sebuah kampung dan mendapati fakta yang mengejutkan. “Ah saya sudah dapat beasiswa nih buat anak-anak, sekolah juga murah... ngapain milih yang lain?” Hah... masih mau milih Demokrat? “Iya, pak SBY kelihatannya masih bagus. Kita juga sudah merasakan peningkatan kok...” Hehe, itulah fakta di lapangan. Masih banyak yang seperti itu di banyak tempat. Mereka menyebutkan sejumlah kebijakan yang langsung mereka rasakan, seperti PNPM, KUR (Kredit Usaha Rakyat), BSM (Bantuan Siswa Miskin), belakangan ada BPJS, Bidikmisi dan lain sebagainya. Biarkan masyarakat yang menilai deh. Kita mah orang yang katanya kelas intelektual dan cendekiawan, yang sudah melek Kompasiana, hanya bisa memprediksi dan mengira-ngira.

“Kan partainya korupsi?” begitu pertanyaan berikutnya. Jawabannya juga simpel.

“Semua partai juga korupsi. Nggak ada partai yang tidak ada korupsinya. Tapi kan sudah terbukti, pak SBY-nya tidak korupsi.”

He he, ya sudahlah. Sebab dan akibat saling berkejaran dengan waktu. Menuju tanggal 9 April, yang penting semua orang nyoblos, biar suaranya bermanfaat buat masa depan. Tugas berat untuk partai lainnya ya, karena meski Demokrat sebagai partai penguasa sudah diojok-ojok dan dijelek-jelekkan, ternyata masih laku tuh di masyarakat kelas bawah dan akar rumput. Pemilu kan tidak melihat kelas dan level orangnya. Suara direktur utama dan suara office boy, sama... orang yang melek Kompasiana dan orang kampung penggembala kambing juga sama,  tetap dihitung satu suara!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun