Partai Demokrat memutuskan untuk tidak berkoalisi. Sebuah keputusan sangat berani di tengah-tengah semangat politik dagang sapi di Indonesia, akibat sistem politik yang berlaku sekarang. Sistem politik sekarang ini tidak memungkinkan sebuah pihak memiliki kekuatan dominan, sehingga mau tidak mau harus berkoalisi. Koalisi tentu saja akan diwarnai dengan tawar menawar. Tidak mungkin tidak. Tawar menawar apa yang didapat dan apa yang diberikan. Mirip seperti prinsip dagang.
Di tengah-tengah kondisi itu, partai Demokrat menjadi kekecualian. Sang ketua umum Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan ucapannya sejak awal, bahwa Demokrat siap berkoalisi, siap tidak berkoalisi dan siap berada di luar pemerintahan. Berada di luar pemerintahan di berbagai sistem politik disebut sebagai oposisi. Di Indonesia, sebenarnya sistem politik kita agak ewuh pakewuh untuk urusan oposisi. Atau sederhananya, kalau pun dulu ada partai yang menyebut diri sebagai oposisi, tapi sesungguhnya bukan oposisi. Jika, Demokrat kelak benar-benar berada di luar pemerintahan, layak ditunggu bentuk oposisi ala Demokrat.
Melihat sepak terjang SBY selama ini, saya yakin oposisi yang akan dijalankan oleh Demokrat adalah oposisi yang cerdas. Bukan oposisi yang asal menolak kebijakan pemerintah. Bukan oposisi yang pokoknya begini, pokoknya begitu. Jika kebijakannya buruk akan ditentang jika kebijakannya baik akan didukung. Kira-kira demikianlah bocoran bentuk oposisi yang sedang disiapkan Demokrat. SBY sangat cerdas dalam berhitung. Kekuatan Demokrat hanya akan bisa kembali jaya pada 2019, jika selama 5 tahun ini, Demokrat mampu melakukan konsolidasi internal dengan baik dan menjalankan fungsi legislatif dengan cedas.
Jika masyarakat berharap terjadi kegaduhan politik akibat status oposisi sebuah parpol, mungkin akan kecele. Selama ini, partai oposisi – yang dilakukan PDI P, Gerindra dan Hanura – lebih sering mengoyang kebijakan pemerintah dan mengkritik nyaris semua kebijakan. Bahkan parpol koalisi pun, kadang berlaku demikian. Akibatnya, stabilitas politik sedikit banyak terganggu dan pemerintah sulit menjalankan kebijakannya.
Saya pribadi tidak berharap terjadi kegaduhan politik seperti yang sudah sudah. Mentang-mentang DPR punya kekuatan seimbang dengan presiden, atau bahkan pada banyak hal lebih kuat dibanding eksekutif, mereka bisa seenaknya mengganggu jalannya roda pemerintahan. Bagaimana pun pelaksana pembangunan adalah eksekutif. Maka, eksekutif harus mendapatkan ruang sebagaimana porsinya dalam membangun. Kita tentu masih ingat bagaimana Abdurrahman Wahid tergelincir akibat “perang” melawan legislatif. Kita juga tentu masih ingat, bagaimana pemerintahan SBY – khususnya di periode kedua – terus menerus digoyang berbagai isu yang sebagian besar dilemparkan oleh lawan politik, dalam hal ini oposisi di DPR.
Saya percaya Demokrat tidak akan menjadi oposisi yang demikian. Saya percaya SBY dapat menjaga seluruh kadernya di legislatif menjadi penyeimbang eksekutif dalam arti sebenarnya. Bukan merongrong pemerintahan yang ada, melainkan menjadi kekuatan penyeimbang yang proporsional, dewasa dan cerdas. Semoga saja demikian ya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H