Jelang pemilu 2014, Indonesia eh rakyat Indonesia harus bersiap siap menghadapi gejolak politik. Gejolak ini biasanya berimbas ke banyak hal. Yang paling merasakan dampaknya... ya masyarakat. Hampir semua bidang kehidupan dan wabil khusus bidang ekonomi akan berreaksi negatif. Biasanya berdasarkan pengalaman pada 2004 dan 2009 lalu.
Gejolak tahun ini diperkirakan akan lebih keras dibanding 2009. Kenapa? Karena sang petahana, pemegang tampuk pimpinan negara saat ini, sudah tidak bisa mencalonkan lagi. Apa hubungannya? Oh jelas sekali. Kalau 2009, banyak orang yang masih menggantungkan nasibnya kepada presiden bertahan karena punya peluang terbesar untuk memenangi pemilu. Para orang-orang di sekitar presiden termasuk para menteri, pasti akan “mendukung” dengan caranya masing-masing. Nah kalau sekarang, tidak mungkin bukan mendukung presiden saat ini?
Mereka – terutama para menteri – akan melakukan aksinya masing-masing dan mendukung jagoannya masing-masing. Kemungkinan besar saling berbeda. Mereka pasti sudah menimbang, mengukur dan menghitung, siapa yang akan menjadi presiden berikutnya. Misal, adayang mulai mendekati Jokowi... sang bintang yang selalu jadi presiden versi survey. Ada pula yang melirik-lirik Prabowo, yang namanya selalu diunggulkan. Atau mungkin ada juga yang mulai merapat ke Hatta Rajasa, atau masih melihat perkembangan situasi, termasuk menunggu hasil konvensi calon presiden beberapa partai.
Tentu saja, timang menimang calon presiden itu akan berpenharuh terhadap kinerja para menteri ini. Tidak bisa tidak deh... bohong kalau mereka mengatakan masih fokus bekerja. Iya benar masih bekerja, tapi sebagian tenaganya sudah tercurah untuk kepentinganpolitiknya masing-masing. Bahkan para menteri yang tidak memiliki partai politik sekalipun. Apalagi menteri yang berasal dari parpol.
Manuver itu sudah terlihat. Nyata bersama Hatta, sudah muncul di mana-mana. Gita yang begitu menggebu dengan PBSI-nya yang merebut gelar juara dunia bulutangkis, makin sering tampil di media massa. Itu manuver yang halus dan transparan. Sejumlah menteri lain bermanuver di bawah tangan, eh di jalur lain. Diam-diam. Tapi sudah pasti menghanyutkan. Sudah mulai saling sikut dan saling sikat.
Kalau sudah begini, tinggal pak presiden dan wapres yang bekerja, hehe... SBY, meski masih memimpin Demokrat, sudah nothing to lose. Dia mengukur diri kekuatan dinastinya, apakah bisa naik ke tampuk kekuasaan atau tidak. Itulah kenapa menelurkan ide konvensi capres. Boediono sejak dulu tidak pernah bergabung dengan parpol manapun dan tidak terlihat ada ambisi melanggengkan kekuasaan. Berbeda dengan wapres-wapres sebelumnya. Ini salah satu kelebihan SBY dalam memilih wapres, yaitu yang tidak berafiliasi ke parpol manapun. Kalau berparpol, pasti juga sibuk dengan kepentingannya sendiri.
Nah yang paling berat terkena efek manuver para menteri ini, ya masyarakat, seperti disinggung di awal. Tapi mau bagaimana lagi, sistem politik saat ini menuntut hal-hal yang terjadi sekarang. Presiden dan jajaran pemerintahannya harus merangkul banyak parpol (berkoalisi) kalau mau pemerintahannya stabil. Kalau tidak, pasti terjadi gonjang-ganjing. Saya setuju dengan pendapat sejumlah pakar termasuk Prof Tjipta Lesmana, bahwa sistem politik kita, sistem kenegaraan kita harus diubah dulu, sehingga berbagai manuver itu bisa dihindari... Yuuuk!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H