Mohon tunggu...
solehuddin dori
solehuddin dori Mohon Tunggu... -

Pengamat berbagai masalah sosial, politik, budaya dan ekomomi, yang berpikiran jernih dan bebas kepentingan apapun. Ingin melihat Indonesia yang maju dan sejahtera.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hancurnya Karakter oleh Lembaga Pendidikan Formal Kita

18 Oktober 2013   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:23 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Trenyuh. Sedih. Kecewa. Marah. Kesal.
Semua campur baur menjadi satu. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat mendidik, membina, mengayomi, mengasuh, mengamong anak didik dengan nilai-nilai luhur, justru sebaliknya. Nilai nilai luhur luntur, menghilang dan musnah, dikalahkan oleh kepentingan sesaat para pejabat/pengelolanya.

Kepentingan pertama pengelola/pejabat pendidikan adalah prestasi. Mereka tidak ingin lembaga yang dipimpin atau dikelolanya, kalah dari pihak lain, atau berprestasi buruk. Sayang sekali, cara untuk menghindari prestasi buruk ini, bukan dengan jalan proses belajar dan mengajar yang lebih baik, melainkan melalui cara instant. Ukuran sekolah baik dan tidak baik saat ini, sebagian besar adalah dari hasil ujian nasional. Berapa nilai rata-rata siswanya? Lulus 100 persen atau tidak? Dan seterusnya.

Kepentingan kedua pengelola/pejabat pendidikan adalah uang/pangkat/harta. Dengan prestasi tetap terjaga, maka peserta didik akan datang berbondong-bondong, atau kenaikan pangkat dan jabatan. Pendidikan dianggap sebagai bisnis yang amat menjanjikan dan mengalirkan pundi pundi uang setiap saat.

Ketika ujian nasional tiba, maka para pengelola/pejabat pendidikan itu secara berjamaah menghalalkan segala cara, agar siswa-siswanya mendapatkan nilai tinggi. Kongkalikong terjadi, meski pengawas berasal dari berbeda beda sekolah. Sudah menjadi rahasia umum, ketika terjadi contek menyontek massal, dibiarkan. Ketika terjadi pembocoran jawaban kepada siswa, juga dibiarkan. Bahkan diciptakan bersama-sama demi nilai yang tinggi, demi citra sekolah, demi uang.

Duh gusti, anak-anak itu diajarkan berbuat curang, berbohong, dan menganiaya diri sendiri. Siapa yang mengajarkan? Mereka yang seharusnya mengajarkan kebaikan, mengajarkan kejujuran, mengajarkan cinta kasih, mengajarkan karakter positif... justru secara terstruktur menghancurkan jati diri anak bangsa sejak belia. Ingat, usia 0 – 15 tahun adalah usia paling vital dalam mengajarkan karakter. Ketika pada usia itu, karakter mereka dibentuk dengan substansi yang salah, maka karakter itu akan menghiasi sisa umur mereka pun. Nauzubillahiminzalik.

Sadarkah hei para pengelola sekolah formal? Pengelola SD, SMP, SMA? Pemilik-pemilik yayasan pendidikan atau lembaga-lembaga pendidikan? Sadarkah kalian terhadap apa yang selama ini telah kalian lakukan? Sadarkah hei para pendidik? Sadarkah hei para pejabat dinas pendidikan? Kalian sudah menanamkan benih-benih kebusukan pada generasi penerus bangsa ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun