Mohon tunggu...
Hendra Setiawan
Hendra Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - penerbit_jabal@yahoo.com

ahli masalah hutang piutang. berpengalaman dibohongi orang. selalu ditipu orang yang berhutang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Krisis Ekonomi Moneter akan Datang Lagi

9 Mei 2015   11:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis ekonomi 98, 2008 bisa terulang lagi. Jangan terlalu mudah percaya dengan omongan pengamat atau pemerintah yang sering berkata kondisi indonesia berbeda dengan sebelumnya dan lebih kuat.

Tahun 2001 saya pernah KKN di suatu desa di kebumen. Disana setiap malam jumat ada pengajian dan selalu makan besar seperti orang nikahan. Saya tanya ke kepala desa, sejak kapan tradisi ini dan apakah tahun 1998 ketika krisis, tradisi makan besar ini berhenti. Kepala desa menjawab ini sudah tradisi sebelum dia lahir. Pas tahun 98 dia mengklaim desa itu tidak kena pengaruh apapun. Karena hampir semua keluarga disana punya sawah minimal setengah hektar. Hasil panen mereka gunakan sisanya baru dijual. Sudah kebiasaan penduduk sana kalau punya uang mereka beli emas atau beli tanah. Sebagian dari mereka punya rekening bank. Tapi mereka bukan menabung dengan harapan mendapat kelebihan. Hebat menurut saya. Tahun 98 terjadi kekacauan ekonomi di Indonesia dan mereka tidak terlalu merasakan. Mungkin inilah kekuatan ekonomi riil.

Saya rasa kita hidup di dunia tidak riil. Termasuk di sektor ekonomi. Penggunaan uang giral dan uang digital sudah dimana-mana. Uang kartal sendiri bisa tiba tiba tak berharga. Orang kaya lebih senang main-main dengan sesuatu yang tak terlihat. Lihat saja perputaran uang di bursa efek sehari 3 trilyun dan hanya dinikmati sekitar 10 ribu orang saja. Tidak jelas yang dijual belikan apa ? walau begitu kalau IHSG turun pemerintah teriak, BI teriak, swasta teriak. Seolah olah banyak yang menikmati permainan di bursa efek. Orang-orang kaya menaruh uangnya di pasar uang. Berharap tanpa kerja keras bisa mendapatkan kenaikan investasi.

Bandingkan dengan perputaran uang di tanah abang yaitu 110 milyar sehari. Itu melibatkan 20.000 toko, 100 ribu pekerja toko dan 200 ribu pembeli. Belum ditambah ratusan ribu orang di luar tanah abang yang terlibat dalam produksi. Atau bandingkan dengan uang beredar di pasar induk kramat jati sebanyak 20 milyar per hari dengan melibatkan pembeli 20 ribu orang.

Gejolak yang terjadi di tanah abang dan pasar induk tidak terlalu menjadi perhatian para pelaku keuangan. Pelaku keuangan lebih fokus ke bursa efek mengamati jual beli sesuatu yang tidak ada fisiknya. Enak tidak perlu keringatan.

Lalu apa hubungannya dengan bank syariah. Mari kita lanjutkan ceritanya. Mari kita mundur sejenak mengamati krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008. Tahun 2008 ini menarik karena lebih banyak melanda negara maju. Sistem ekonomi kita meniru mereka. Mereka guru kita kok bisa kena badai krisis ? saya rasa penyebabnya sistem mereka sendiri. Sistem yang mereka anut mendorong terjadinya kenaikan nilai investasi. Orang di dorong untuk bermain di pasar uang. Beli sekarang tahun depan akan naik. Tahun depan orang lain disuruh membeli efek dengan janji tahun depan harganya akan naik. Semuanya berharap dengan menaruh uang di bursa efek dapat keuntungan yang selalu meningkat. Semuanya ditaruh disektor keuangan bukan di sektor riil. Akhirnya akan terjadi krisis keuangan. Bagaimana kok bisa ? Secara ringkasnya jalan ceritanya kira kira seperti ini.

Bank  A memberikan kredit untuk pembelian rumah. Jaminan atas pembayaran cicilan dan bunganya adalah rumah tersebut. Pinjaman antara pembeli rumah dengan bank berbentuk kontrak kredit yang berwujud kertas. Karena kertas itu mewakili kepemilikan rumah sebelum hutang lunas, maka kertas itu disebut surat berharga. Pekerjaannya disebut sekuritasasi asset. Kita bisa bilang bahwa surat berharga ini adalah surat berharga level satu. Karena langsung dijamin oleh barang nyata yaitu rumah.

Bank A ini membayarkan atau menalangi pembayaran rumah ke developer. Sehingga uang tunai bank A ini berkurang. Tapi bank A punya surat berharga. Supaya bank A mendapat keuntungan, dia mengelompokkan surat berharga kedalam beberapa kategori misalnya berdasarkan tanggal jatuh temponya. Surat berharga yang dikelompokkan ini dijadikan dasar untuk menerbitkan surat berharga lagi. Surat berharga ini dijual lagi ke bank B. Kita bisa sebut surat berharga level 2. Karena dasar penerbitannya dari surat berharga level 1. Uang yang didapat dari Bank B oleh bank A digunakan lagi untuk memulai proses dari awal atau memberikan kredit rumah lagi. Seringkali kredit diberikan kepada orang yang sama yang sebenarnya tidak butuh rumah. Orang tersebut juga tidak mempunyai pendapatan yang cukup untuk membayar cicilan dan bunganya. Orang tersebut berharap kenaikan harga rumah bisa mencukupi pembayaran tagihan. Bank A tidak peduli kalau orang tersebut spekulan. Karena beberapa tahun terakhir harga rumah naik terus. Bank A pura pura tutup mata, padahal mereka tahu kalau kenaikan harga rumah terjadi karena pembeli berharap rumah tersebut akan naik terus. Spekulasi. Pembeli juga membeli rumah dari pinjaman bank A. Bisa jadi antara pembeli pertama, kedua,ketiga dan seterusnya menggunakan dana dari bank A.

Oleh bank B surat utang level dua dikelompokkan lagi misalnya berdasarkan provinsi. Surat utang level dua yang sudah dikelompokkan, dijadikan dasar untuk membuat surat berharga lagi. Surat berharga ini dijual ke lembaga keuangan C. kita bisa sebut surat berharga level 3. Karena dasar penerbitannya dari surat berharga level 2.

Hal tersebut diulangi terus menerus ke atas. Entah sampai level berapa. Pemerintah Amerika Serikatpun kesulitan menghitung surat berharga yang ada sampai level berapa. Bank B dan Lembaga C mungkin mendapat uangnya dari bursa efek atau dari kumpulan dana nasabah.

Pada suatu waktu akhirnya tidak ada yang membeli rumah lagi. Harganya sudah terlalu tinggi. Karena tidak ada pembeli sedang rumahnya banyak, harga rumah tidak bisa naik lagi bahkan malah turun. Akibatnya pembeli rumah tidak mampu membayar tagihan. Mereka membiarkan rumah-rumah tersebut disita bank A. Bank A tidak mampu menjual rumah tersebut sesuai dengan uang yang dipinjam nasabah. Akibatnya amruklah bank A. lalu merembet ke Bank B. Merembet ke lembaga C dan seterusnya.

Perlu diingat juga bahwa tidak mungkin ekonomi akan terus naik ke atas, pasti suatu saat akan jatuh lagi. Lalu pelan pelan naik lagi. Lalu jatuh lagi. Melupakan hal itu bisa membahayakan siapa saja yang memaksakan diri ikut permainan derivatif. Sebaiknya kembali ke khitah. Yang riil-riil saja.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun