Program Hunian Layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Program Rumah Susun Sederhana Sewa
Tingginya permintaan terhadap kebutuhan akan rumah, namun tidak disertai dengan pertambahan jumlah perumahan dan permukiman, mengakibatkan adanya backlog rumah, yaitu selisih antara jumlah kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang tersedia.Â
Sebagaimana diketahui, DKI Jakarta merupakan provinsi kedua dengan backlog rumah terbesar di Indonesia. Lebih kurang 1,3 juta rumah tangga belum memiliki rumah.
Angka backlog rumah yang menjadi acuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini bersumber data dari hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang artinya adalah "backlog kepemilikan."Â
Artinya untuk menurunkan backlog rumah mestinya dengan meningkatkan program yang memfasilitasi atau program yang memberikan kemudahan kepemilikan rumah bagi warga, namun upaya pengembangan program rumah susun sederhana sewa (rusunawa) non kepemilikan tetap menjadi program unggulan meskipun disadari upaya tersebut tidak akan menurunkan angka backlog versi BPS.
Penyediaan rusunawa terus dikembangkan dengan anggaran Pemerintah DKI Jakarta untuk menjawab kebutuhan akan hunian layak bagi warga Jakarta, tidak hanya itu pengelolaan dan pemeliharaannya pun dikelola oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Pemda DKI Jakarta.Â
Unit Pengelola rumah Susun (UPRS) merupakan Unit pelaksana Teknis di bawah Dinas Perumahan rakyat dan Kawasan permukiman. Unit ini tata kelola keuangannya pernah direncanakan dengan pola tata kelola Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) namun rasanya memang belum terlihat urgensi untuk merealisasikannya.
Dengan pola tata kelola keuangan BLUD diharapkan pelayanan rumah sewa bagi masyarakat dapat dikelola dengan konsep bisnis yang sehat, namun perlu kiranya prinsip kehati-hatian mengingat sasaran program ini adalah segmen masyarakat yang masih banyak berharap terhadap kemurahan hati pemerintah untuk tetap dapat mempertahankan watak sosial ketimbang komersial.
Anggaran pembangunan rusunawa termasuk anggaran operasional pengelolaannya, tak lepas dari berbagai permasalahan selain issu tentang ketidak tepat sasaran, juga potensi  adanya kerugian daerah akibat banyaknya tunggakan pembayaran sewa penghuni baik karena ketidakmampuan bagi warga yang perekonomian "belum berubah" maupun ketidakmauan membayar bagi warga yang dipandang mampu oleh penilaian petugas.Â
Berbagai pemikiran untuk meminimalisir terjadinya ketidak tepat sasaran, termasuk rencana pembatasan lamanya tinggal di rusunawa. Penerima program subsidi rusunawa akan dibatasi  2 (dua) tahun, hal ini  dianggap jalan keluar untuk membatasi "orang mampu" yang karena merasa nyaman sehingga tetap ingin terus bertahan menerima subsidi rusunawa.Â
Rusunawa yang semula diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah  dan fasilitas relokasi sementara bagi warga terdampak  program pemerintah, selanjutnya diharapkan terjadi peningkatan ekonomi yang pada akhirnya diharapkan terjadinya peningkatan karir perumahan (housing career) namun ternyata tidak mudah untuk mengevaluasi adanya peningkatan kemampuan kecuali berharap dari pengakuan (kesadaran) warga rusunawa sendiri.
Masalah selanjutnya ternyata batasan lamanya menghuni tidak ada kaitan dengan perubahan status ekonomi. Tidak ada jaminan bahwa setelah 2 (dua) tahun tinggal di rusunawa dipastikan sudah cukup waktu untuk terjadinya perubahan status ekonomi, kecuali jika ada upaya ekstra dari berbagai pihak dalam mendorong peningkatan ekonomi warga rusunawa.Â
Dilematis, jika aturan pembatasan lamanya tinggal di rusunawa diterapkan apakah ini artinya warga yang melampaui batas waktu yang ditentukan akan dikeluarkan dari program subsidi ini. Bagaimana dengan kehidupan warga selanjutnya? Apakah mereka mampu memiliki tempat tinggal layak atau akhirnya harus kembali mengkumuhkan sudut-sudut Jakarta.
Di lain sisi, peningkatan ekonomi dapat saja terjadi dalam hitungan bulan sehingga seharusnya tidak perlu menunggu waktu dua tahun pembatasan tinggal di rusunawa untuk mendorong percepatan peningkatan karir perumahan dari sewa menjadi milik, dari sisi ini pun tetap saja berharap adanya kesadaran "pengakuan peningkatan kemampuan" dari penghuni rusunawa.
Untuk menghindari ketidaktepatan penilaian seharusnya dibentuk tim dan keterlibatan penghuni rusunawa (self evaluation) serta penggunaan tools yang mampu mengukur tingkat kemampuan warga secara objektif dan terukur tidak hanya menggunakan batasan lamanya tinggal sebagai satu-satunya alat mengevaluasi kemampuan ekonomi warga rusunawa.
Program Rumah Susun Sederhana MilikÂ
Dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta, Skema bantuan yang paling relevan untuk mengurangi backlog kepemilikan perumahan adalah dengan pola pembiayaan (financing). Dimana Pemerintah menyediakan sejumlah anggaran yang dikelola dengan konsep dana bergulir.
Untuk MBR yang memiliki kemampuan dengan batas tertentu dapat ditawarkan untuk mengikuti program kepemilikan hunian, seperti program yang saat ini sedang dijalankan yaitu program DP Nol Rupiah dengan skema KPR rumah susun sederhana milik.
Bersambung episode 6 (Program Hunian DP Nol Rupiah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H