PENGURANGAN BACKLOG PERUMAHAN
TIDAK TERCAPAI Â (Episode 3)
Backlog Rumah adalah salah satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang terkait bidang perumahan untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia. Backlog rumah dapat diukur dari dua perspektif yaitu dari sisi kepenghunian maupun dari sisi kepemilikan. Perbedaan perspektif ini tentu memerlukan intervensi berbeda dan juga tentu memiliki strategi berbeda dalam pencapaiannya.Â
Pada akhir tahun 2010, backlog rumah sekitar 7,1 juta. Pemerintah dalam hal ini Kemenpera pada saat itu, yang kemudian  berubah nama menjadi Kementerian PUPR, sudah berupaya mengatasinya. Beberapa pola pendanaan dilakukan seperti SSB (Subsidi Selisih Bunga), SUM (Subsidi Uang Muka) ada SSBIO-BP (Subsidi Selisih Bunga Balloon Payment) namun yang terjadi bukannya penurunan, tapi  justru meningkat, hasilnya tidak kelihatan bahkan di akhir 2014 backlog rumah meningkat menjadi 7,8 juta.Â
Rasanya tidak heran jika upaya penurunan backlog tersebut "tidak tercapai" karena backlog tersebut perspektifnya bukan persoalan kepemilikan namun pada perspektif kepenghunian dimana masalah utamanya bukan pada pola pendanaan dan juga bukan pada pola pembiayaan perolehan hunian semata melainkan lebih pada pertumbuhan rumah tangga tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan rumah layak huni sesuai dengan angka tambahan kebutuhan rumah.Â
Untungnya pemerintah segera menyadari, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, kemudian pemerintah menargetkan jumlah backlog akan ditekan hingga tingga 6,8 juta yaitu dengan cara meningkatkan penyediaan hunian. Inilah yang kemudian melahirkan program sejuta rumah pada Tahun 2015. Alhasil pada maret 2019 terjadi penurunan backlog meskipun tidak signifikan tetapi setidaknya sudah terlihat hasilnya. Menurut data Kementerian PUPR per 8 Maret 2019 angka backlog kepenghunian sebesar 7,6 Â juta.
Konsep menghuni dalam perhitungan backlog tersebut merepresentasikan bahwa setiap keluarga tidak diwajibkan untuk memiliki rumah, tetapi Pemerintah memfasilitasi/mendorong agar setiap keluarga, terutama yang tergolong Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) bisa menghuni rumah yang layak, baik dengan cara sewa/kontrak, beli/menghuni rumah milik sendiri, maupun tinggal di rumah milik kerabat/keluarga selama terjamin kepastian bermukimnya (secure tenure).
Lain halnya dengan backlog kepemilikan dihitung berdasarkan angka home ownership rate /persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri (kepemilikan). Sumber data dasar yang digunakan dalam perhitungan ini biasanya bersumber dari data BPS atau Susenas. Data backlog ini yang kemudian seringkali digunakan  pemerintah daerah termasuk DKI Jakarta sebagai target keberhasilan program perumahan.
Dari perhitungan kedua perspektif yang berbeda tentu saja menghasilkan perhitungan angka yang berbeda, serta penangan yang berbeda pula, Berikut data backlog Nasional dari dua perspektif tersebut :Â
Tahun 2010 backlog kepenghunian  7.170.387  backlog kepemilikan 13.505.866
Tahun 2011 backlog kepenghunian  7.813.035  backlog kepemilikan 13.216.791Â
Tahun 2012 backlog kepenghunian  7.310.732  backlog kepemilikan 12.512.842
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!