Penerjemah beraliran feminis seperti Barbara Godard, dianggap berpegang teguh pada sistem nilai dan moral sebagai rujukan internal oleh kebanyakan masyarakat karena ia menolak menerjemahkan teks karangan penulis pria dan selalu menganggap dirinya benar-benar berperan aktif dalam penerjemahan dan penyebaran teks-teks pengarang wanita yang mereka terjemahkan untuk mengangkat isu kaum wanita dan suara kaum feminis. Atau, saat menerjemahkan dokumen yang ditulis oleh kaum pria, ia selalu berkeinginan untuk menerjemahkannya secara propaganda.
Beberapa di antara penerjemah berpaham feminis menulis tentang keputusan mereka melakukan hal demikian seolah-olah mendapat tuntutan moral datang dari dalam untuk melakukan propaganda, dan hampir-hampir selalu mereka turuti. Levine misalnya, berbicara tentang depresi dan kemuakan yang ia rasakan ketika menerjemahkan satu dokumen, yang berujung pada keputusan untuk tidak akan pernah lagi menerjemahkan naskah dari penulis pria. Levine menuliskan penderitaan pribadinya sebagai seorang feminis saat menerjemahkan karya para pria berpandangan patriarkis (meyakini bahwa salah satu jenis kelamin lebih unggul dari jenis kelamin lainnya).Â
Sebaliknya, penerjemah beraliran patriarkis  mencetak ulang bagian-bagian panjang dari catatan hariannya sebagai penerjemah, yang ditulis saat ia menerjemahkan karya penyair feminis yang lesbian, ke dalam bahasa tertentu.Â
Kesedihan yang mendasari keputusan spesifiknya itu tampaknya lebih banyak dipengaruhi tuntutan moral atau rujukan internal datang dari dalam. Namun, penderitaan pribadi dan kode etik pribadi yang berkembang dari upaya tanpa henti wanita-wanita tadi, disebabkan karena tuntutan moral eksternal. Satu sisi ia meyakini propaganda terjemahan yang dilakukan adalah "tindakan kebaikan" sementara pada sisi yang lain ia agak meyakini tuntutan moral eksternal adalah kebaikan juga. Dari kondisi ini penderitaan muncul sebab ada pertarungan yang tragis antara sistem nilai yang dibangun secara internal dan rujukan yang diserap secara eksternal.
Upaya untuk menyembuhkan penderitaan itu harus menggunakan rujukan dari luar atau rujukan eksternal yang barangkali berupa rujukan norma agama, norma sosial. Penulis tidak ingin mengatakan bahwa gerakan penerjemah yang melakukan propaganda terjemahan adalah tindakan melawan norma agama, tetapi agama selama ini diyakini memilki otoritas kebenaran di atas norma apa pun, kendati banyak pemikir yang datang belakangan berusaha keras menerjemahkan ulang norma-norma agama yang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan paradigma.
Melihat fakta lain, penerjemah yang concern terhadap naskah-naskah keagamaan juga tidak luput dari rujukan internal hingga melakukan perubahan makna terjemahan sesuai dengan keyakinan dan alirannya, atau bahkan secara tragis menghapus beberapa kalimat asli dari teks sumbernya kemudian dituangkan dalam terjemahannya. Ditemukan di pesantren-pesantren ada sejumlah buku/kitab kuning diyakini telah mengalami proses editing hingga merubah teks sumbernya.
Penulis sendiri dalam beberapa kesempatan saat melakukan kajian atau bedah buku menemukan perbedaan terjemahan yang nyaris berkebalikan dengan naskah sumbernya. Motivasi apa yang mendasari para penerjemah membuat tragedi intelektual pada profesi mereka dengan cara mengganti pesan pengarang?
Tampaknya mereka juga dalam porsi yang sama dengan penerjemah-penerjemah yang mendapat tuntutan moral, keyakinan dan aliran internal meyakini bahwa pandangannya adalah yang paling benar dan yang lain salah, hingga upaya mengganti pesan/makna sebuah teks adalah "tindakan kebaikan". Bagi penerjemah tersumpah, yang sudah diangkat sumpahnya untuk selalu setia dan tunduk terhadap naskah sumber berupa apa pun, ditulis oleh siapa pun dan akan dibaca oleh siapa pun dengan komitmen dan kesetiaan mutlak melakukan propaganda terjemahan adalah pelanggaran dan tindakan kriminal.
Salah satu jalan neminimalisir perang batin antara teks dan rujukan internal penerjemah lebih dianjurkan untuk tidak mengerjakan naskah-naskah yang berlawanan dengan keyakinan personal, kecuali dalam situasi mampu berpikir secara objektif dan independen, bebas dari segala macam pemikiran dan aliran, tuntutan norma dan sistem nilai yang datang dari dalam. Cara berpikir ini kemudian menjelma menjadi deretan kalimat terjemahan yang setia terhadap teks sumber, menjelma menjadi naskah terjemahan yang reliable (tepercaya).
Keharusan berpikir secara independen dalam menerjemahkan bermacam-macam naskah, membawa penerjemah pada pendirian yang kokoh: Bahwa dengan menerjemahkan naskah teknik ia tidak harus menjadi teknisi, menerjemahkan jurnal medis ia tidak harus menjadi dokter, dan menerjemahkan dokumen aliran (keyakinan) yang tidak sepaham seorang penerjemah tidak akan pernah dengan sendirinya berpindah aliran (keyakinan).