Dengan demikian, seringkali terjadi kesenjangan di utara dan selatan India gara-gara tidak adanya bahasa pemersatu yang menjembatani perbedaan wilayah dan etnis ini.
Karena itulah, apabila ada pergesekan horizontal yang diakibatkan oleh perkara politik dan sebagainya, sudah seharusnya sadar apabila perbedaan adalah anugerah. Setiap hal yang berbeda harus dicari titik temunya untuk menghasilkan sesuatu yang positif.
Dalam sepakbola, kita punya memori manis atas keberhasilan Tim Garuda Muda U-19. Ketika pertama kali diberi amanah sebagai pelatih timnas U-19, Indra Sjafri menyadari segala keterbatasan, baik soal dana maupun fasilitas. Oleh karena itu, yang dia lakukan adalah keliling Nusantara mencari talenta terbaik dari berbagai daerah.
Karena itu kita kemudian mengenal Evan Dimas (Jawa), Oktavianus SItanggang (Batak), Ilhamuddin Armayn (Maluku), I Putu Gede (Bali), Zulfiandi (Aceh) Pahabol (Papua), Yabes Roni Malaifani (NTT) dan sebagainya. Semua potensi ditampilkan sebagai sebuah harmoni. Egosentrisme ditekan, talenta dimaksimalkan, kerjasamaa diefektifkan. Hasilnya, dahsyat. Timnas Garuda Muda jawara AFF Cup 2013.
Karena itu, segala perbedaan horizontal di berbagai bidang sudah seharusnya menjadi kekuatan, bukan alasan perpecahan. Apa yang dilakukan Indra Sjafri dengan potensi Nusantara yang dia susun menjadi pelajaran bagi kita. Sebagaimana taman yang tampak indah jika banyak varian bunga di dalamnya, demikia pula dengan kenyataan yang ada.
Niatan untuk menghapus perbedaan yang ada dengan alasan persatuan adalah tindakan yang kontraproduktif, sebab akan menghilangkan cirikhas unsur yang ada. Dalam aspek multikulturalisme, yang Jawa tetaplah menjadi Jawa dengan segala kekayaan budayanya, demikian pula yang Madura, Aceh, Papua, dan Maluku, tanpa harus menghilangkan ciri khasnya masing-masing. Dengan cara ini kita bisa menghargai indahnya perbedaan di antara anak bangsa.
Menyikapi Keberagaman Madzhab
Bagi saya, beragamnya madzhab dalam fiqh merupakan penanda bahwa ada dinamika pemikiran di kalangan ulama. Varian madzhab yang ada justru meniscayakan adanya perbedaan hasil ijtihad. Oleh karena itu, upaya standarisasi madzhab dengan menerapkan satu-satunya madzhab resmi yang diakui negara akan melahirkan stagnasi pemikiran.
Dalam sebuah pertemuan, Khalifah Harun Arrasyid menyampaikan keinginannya kepada Imam Malik bin Anas, "Wahai Abu Abdillah, kami akan menulis karya-karyamu dan akan kami sebar di berbagai penjuru negeri kaum muslimin agar menjadi standar bagi umat,"
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya perbedaan ulama adalah rahmat dari Allah kepada umat ini. Semuanya mengikuti apa yang menurut mereka benar. Semuanya berada dalam hidayah-Nya dan bertujuan karena Allah."
Imam Malik menyadari apabila ide Harun Arrasyid tampak indah, namun justru akan menutup peluang ikhtilaf di kalangan ulama. Ini berbahaya karena akan menghasilkan stagnasi pemikiran Islam. Oleh karena itu, setiap perbedaan adalah anugerah yang harus dicari titik temunya, bukan titik tengkarnya. Isu sektarian dalam beragama yang selama ini digulirkan harus diakhiri untuk kemudian dicarikan bahasan lain yang lebih produktif dan bermanfaat.