Waktu masih SD, aku mendapat tugas khusus dari ibuku. Tugas yang kupandang sebagai tanggung jawab sebagai anggota rumah tangga yang musti ditunaikan sebaik-baiknya. Tanggung jawab yang bila tidak dilaksanakan dengan baik, maka terasa percuma hidupku.
Tugas itu adalah membuka korden dan jendela di seantero rumah tiap pagi setelah matahari terbit. Kemudian menutupnya kembali jelang maghrib.
 Tugas yang sepele namun sangat berarti dan membekas bagiku kala itu. Jika bukan aku yang membuka dan menutupnya, maka tidak ada anggota keluarga lain yang akan melakukannya. Maka akupun merasa bahwa gelap-terang dan segar-pengapnya rumah kami adalah tanggung jawabku.
Sehingga sekesiangan apapun bangunku, sekesorean apapun mainku, tetap tugas perjendelaan harus dilaksanakan. Kalau tidak, aku merasa tak berguna. Beranjak makin besar, tugas kerumahtanggaanku bertambah. Tiap pagi-sore, aku harus menyiram kembang-kembang di halaman dan memberi makan bebek peliharaan bapak. Rutinitas ini juga berlangsung tiap hari selama bertahun-tahun hingga akhirnya aku merantau sekolah di kota.
Nah, semua rutinitas bentukan itu berlangsung tiap hari selama bertahun-tahun, hingga membekas di alam bawah sadarku.Â
Rasanya ngganjel kalau ada jendela masih tertutup padahal sudah siang, atau masih terbuka padahal sudah petang. Rasanya nggegirisi kalau lihat ada bunga-bunga dan tanaman layu, kering, atau tak terurus. Pembiasaan fisik sudah meresap menjadi rasa, atau dalam istilah Gus Mus; 'malakah'.
Mungkin hal semacam ini yang dalam teori pendidikan disebut konvergensi ala Stern. Yakni salah satu teori tentang pembentukan watak anak selain nativisme ala Schopenhauer dan empirisme ala John Locke.Â
Bahwa watak anak terbentuk bukan hanya karena bawaan genetis, tetapi juga bentukan lingkungan dimana ia hidup.Â
Dalam hal ini adalah lingkungan keluarga, terutama pembiasaan dari orang tua. Proses rutin yang dijalani ketika masih kecil dan berlangsung selama bertahun-tahun akan sangat membekas pada diri anak. Bolehlah kusebut sebagai 'pembekasan'.
Ketika membaca riwayat hidup Abdul Sattar Edhi, kutemukan kisah sederhana terkait pembekasan ini. Karena sebelumnya aku penasaran, apa pengalaman hidup yang membentuk Edhi sebegitu mulianya.Â
Kukira fragmen hidup inilah yang membentuk watak Edhi sebagai sosok yang sangat peduli kemanusiaan. Pembekasan inilah yang melahirkan Edhi sebagai filantropis dan humanis agung di abad materialistik ini.