Angpau. Ini istilah Tiyunghuwa, kayaknya. Merujuk pada tradisi pemberian fulus dalam amplop kepada sanak saudara pas hari raya Imlek. Umat Islam yang berhariraya punya istilah sendiri. Macam-macam. Disesuaikan dengan daerahnya. Kalau di desa saya ya disebut sangu (uang bekal). Dimasukkan atau tidak ke dalam amplop, tidak masalah, yang penting nominalnya. Ya nggak? Hahaha.
Kemarin ada saudari kita yang menulis jika tradisi memberi amplop lucu berisi fulus katanya akan menumbuhkan mentalitas pengemis bagi anak-anak apalagi jika disertai ucapan pengharapan. Agar lebih oke oce, dia kutip pula sabda Baginda Rasulullah. Ikut kata ukhti ini, monggo, nggak ikut ya silahkan. Santai saja. Nggak usah saling menyesatkan. Sebab, sudah menjadi kodrat alam jika selepas lebaran dompet orangtua kempes, tapi saku anak-anak semakin tebal. Orangtua menjadi eksportir, anak-anak menjadi importir rizki. Qiqiqqiqi
Sebagai bokap dua orang buah hati, sudah menjadi tradisi menyiapkan aungpau lebaran. Bagi-bagi rezeki buat anak kerabat dan tetangga. Itung itung tasyakuran. Sedekah, gitu lho. Biar rezeki kita lantjar djaja dan diberkahi Allah. Saya yakin panjenengan juga demikian. Benar, bukan?
Oke. Bahkan, ini yang bikin makjleb di hati, saat melihat ada tetangga kita yang secara ekonomi menengah ke bawah, masih menyediakan angpau bagi anak-anak yang berkunjung ke rumahnya. Uangnya Rp 2000. Lusuh tapi dia siapkan dengan rapi. Dengan mata berbinar, dia menyerahkan nominal yang bahkan hanya cukup buat bayar pipis sekali di Terminal Bungurasih. Nominalnya memang minim, remeh, tapi karena diserahkan dengan hati yang merdeka dengan ekspresi riang gembira kepada anak-anak yang menyerbunya dengan suka cita, maka itu sudah setara dengan keriuhan fans yang menyambut Radamel Falcao saat mendarat di Bandara Eldorado, Bogota, Kolombia.
Saya menganggap para penabur angpau ini sebagai penggerak sunnahnya Kanjeng Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sebab, beliau adalah pecinta anak-anak. Silahkan cek riwayat perlakuan Kanjeng Rasulullah shalallahu alaihi wasallam kepada anak-anak: Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, Abu Umair, Anas bin Malik, Abdullah bin Ja'far dan Abdullah bin Abbas, dua keponakan beliau; Abdullah bin Zubair, serta Umamah cucu perempuan beliau, dan lain sebagainya.Â
Kalau riwayat ini kita baca, niscaya menemukan sosok mulia tersebut senantiasa berusaha menggembirakan anak-anak. Jadi, jangan segan memberi angpau kepada para bocah, sebab itu bagian dari ajaran Kanjeng Rasulullah. Ajaran memuliakan serta membahagiakan anak-anak.
Karena itu, sebagai orangutan, eh orangtua, saya melihat apabila fulus angpau tetap milik anak-anak. Amplopnya silahkan diambil papa atau mamanya, tapi isi tetap milik buah hatinya. Sebab, itu merupakan hadiah orang lain bagi mereka. Itu hak mereka. Sebagai orangtua, rasanya nggak tega dan kurang etis memanfaatkan uang mereka untuk membeli ini-itu yang sifatnya konsumtif maupun kebutuhan tersier.
Karena sudah menjadi hak anak, selayaknya uang tersebut kita pergunakan untuk tabungan pendidikan maupun kebutuhan keseharian mereka. Dengan cara ini kita belajar adil memperlakukan anak. Apa yang menjadi hak mereka, berikanlah. Toh, kita masih menjadi wasilah rezeki mereka dari kerja keras kita sebagai orang tua. Dengan berlaku adil seperti ini, setidaknya kita menjaga agar perputaran fulus dalam keluarga kita senantiasa diberkahi oleh Allah. Sebab, sebagaimana kata KH. A. Musthofa Bisri, "Jangan mencari banyak, tapi carilah barakah."
WAllahu A'lam Bisshawabditulis oleh Rijal Mumazziq Z Posted by Penerbit imtiyaz,http://penerbitimtiyaz.com/ Direktur Penerbit imtiyaz. Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta'lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H