Mohon tunggu...
Efriza Riza
Efriza Riza Mohon Tunggu... -

Saya adalah Profesional Penulis dan Editor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dorong Partai Mereformasi Diri

12 Oktober 2014   23:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:19 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Efriza, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, dan Penulis Buku PolitikStudi Parlemen Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia

Riuh rendah di Gedung Parlemen menjadi perbincangan hangat. Kejenuhan melihat perilaku politisi, berdampak terhadap politik dan sebagai ilmu pengetahuan. Politik selalu dimaknai buruk, kotor, dan hanya tentang kekuasaan belaka. Padahal kekuasaan hanya bagian kecil saja dari objek politik.

Objek politik yang kita diskusikan terkait Negara dalam hubungan Penguasa dan Rakyat adalah Proses Pembuatan Keputusan. Proses Pembuatan Keputusan dari Penguasa untuk Rakyat, dari Output menjadi Input. Input ini bisa dilakukan oleh Rakyat langsung maupun melalui Wakil Rakyat. Segera dicatat, Wakil Rakyat hanya sebagian saja dari kewenangan rakyat yang diberikan kepada mereka.

Lembaga Perwakilan memang sudah menjadi pilihan oleh karena perkembangan penduduk yang sangat cepat, semakin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi adalah merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era globalisasi sekarang.

Konsep ini tentu dipahami Politisi tetapi ironi mereka tak bisa bekerja untuk rakyat kecuali mengatasnamakan rakyat. Problematika sistem perwakilan kita adalah pada Elite partai. Mereka (elit) sebagai Aktor telah merusak kesisteman yang dibangun bahkan elit partai juga merusak pula partai sebagai pilar dari demokrasi. Kekacauan demi kekacauan saling melengkapi. Mengapa hal itu dapat terjadi? Bagaimana menyelesaikan problema ini?

Akar Masalah

Elit partai telah mengakali konstitusi. Wakil Rakyat yang secara personal sejatinya mempunyai kekuasaan besar, bahkan diatur dengan tegas dalam UUD 1945, harus terpenjara oleh kepentingan partai. Makna Daulat Rakyat-Daulat Wakil hilang.

Ini terjadi karena keberadaan Fraksi. Istilah Fraksi tidak dikenal sama sekali dalam UUD 1945, fraksi hadir di parlemen melalui UU mengenai pengaturan kelembagaan Parlemen inilah trik partai mengakali konstitusi. Tanpa sadar Wakil Rakyat melupakan eksistensi diri mereka secara personal yang dijamin oleh Konstitusi Pasal 20A ayat (3) “…setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas;” dan Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD.”

Mereka seolah-olah mengerti hak konstitusional mereka untuk berbicara ketika kita mendengar interupsi atau perdebatan di rapat paripurna. Tetapi jika diperhatikan dengan seksama, Rapat Paripurna mirip Pasar. Ketika penjual saling teriak berebut menawarkan dagangan. Memang itu hak konstitusionalnya, tapi sayang semu, mereka tak berkutik karena kokpit di parlemen ada di tangan Ketua Umum Partai atau di tangan 10 Pemilik Partai di Senayan.

Hal ini terlihat, proses pemilihan pimpinan DPR/MPR dengan sistem paket yang telah mengeliminasi hak anggota DPR, Voting dalam pengambilan keputusan dengan cara voting blok (fraksi), dan begitu kentara ketika Ketua Umum partai langsung hadir di Parlemen memberi arahan, memantau, memberi “ancaman” kepada para wakil rakyat untuk memilih pimpinan sesuai arahan elite itu. Sehingga kita tidak heran telinga kita mendengar Wakil Rakyat dengan ringan dan tanpa tedeng aling-aling berkata belum ada instruksi partai, para wakil kita tak bisa bersuara atas nama rakyat secara personal mereka bersembunyi di ketiak partai.

Realitas terbaru yang lebih memuakkan, ternyata Elit Partai tidak terlalu merisaukan kehadiran Wakil Rakyat sebagai anggotanya di Senayan, sebab revisi UU MD3 malah melegalisasi kehadiran anggota dewan berdasar absensi semata tanpa kehadiran fisik, ironinya ketidakhadiran fisik tersebut tergantikan oleh kehadiran secara absensi setiap anggota dewan untuk mengambil keputusan dalam parlemen. Kondisi-kondisi itu menghasilkan sang wakil bertindak sebagai “partisipan” bukan sebagai “politico” (sebagai wali dan utusan).

Cengkraman partai tidak berhenti di sana mereka pun menggerogoti hak elektoral rakyat. Tidak adanya lagi kewajiban partai menyampaikan melalui pertanggungjawaban fraksi kepada masyarakat dalam revisi UU MD3. Hak elektoral pun hilang dalam alur koalisi, pemilu sebagai reward dan punishment lenyap ketika partai yang mendapatkan punishment hadir (2004, 2009) atau diminta ikut dalam koalisi dan pemerintahan.

Pemilu akhirnya hanya bicara kewajiban rakyat bukan hak rakyat. Kewajiban pun dipaksa pula dengan MUI melalui fatwa haram jika tidak memilih pemimpin (golput). Sehingga, non-voter maupun golput yang merupakan bagian dari hak perorangan untuk memilih dan tidak memilih, sebagai protes atas kinerja pemerintah yang dianggap gagal, akhirnya terhapuskan. Substansi Pemilu hanya terjadi dalam hitungan 7 Jam (07.00-14.00), setelah kelar quick count, lepaslah hubungan rakyat dengan yang diwakili.

Hal ini terjadi tak lepas dari realitas partai di Indonesia hadir berdasar kepemilikan bukan dorongan kesamaan tujuan membentuk partai, misal, Gerindra punyanya Prabowo, PDIP trah Soekarno, Partai Demokrat punyanya SBY, bahkan partai baru Nasdem punyanya Surya Paloh. Ini tak bisa dilepaskan dari historis pembentukan partai yang didasari konflik dan makna picik atas politik sebagai “merebut dan mempertahankan kekuasaan.”

Inilah agenda terbesar ke depan yang perlu segera digulirkan, sebagian kewenangan kita sebagai rakyat perlu kita pergunakan dalam menggulirkan wacana ini, Indonesia perlu Mereformasi Partai bukan menggubur partai. Hilangkan kata euforia atau transisi demokrasi, sebagai bagian dari kejatuhan Orde Baru dan hilangnya fusi partai, mari saatnya kita mulai menuju Demokrasi Substansial diawali dengan partai-partai harus mereformasi diri menjadi partai modern misal, fungsi partai mulai dijalankan seperti pengkaderan, regenerasi kepemimpinan, dan partai harus menjadi tempat rekrutmen kepemimpinan tidak lagi ada pamrih dengan hadirnya fraksi. Pamrih partai adalah bentuk penggorotan dari demokrasi dan tempat bersemainya korupsi.

Demokrasi tanpa partai bagaikan ikan tanpa Air, namun ikan akan mati jika airnya beracun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun