Oleh: Efriza, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional (UNAS) dan Penulis buku “STUDI PARLEMEN; Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia”
Menteri-menteri yang akan membantu Presiden Jokowi telah dilantik dan sudah mulai bekerja. Tetapi disayangkan, hasil selesi menteri ini menunjukan kegagalan pertama Jokowi dalam membangun komitmen dengan pemilih. Saat Pilpres, Jokowi menyatakan menginginkan koalisi tanpa syarat, menteri tak rangkap jabatan di partai, menteri yang bersih dan profesional dalam bidangnya. Beberapa catatan suram ini perlu dijabarkan agar kita tetap mengkritisi Presiden terpilih Jokowi.
Intervensi Seleksi Menteri
Awalnya publik antusias ketika Jokowi meminta masukan dari masyarakat mengenai calon menteri yang pantas untuk menduduki kursi kabinet. Begitu pun, ketika Jokowi telah menjabat sebagai Presiden, ia meminta rekam jejak calon menteri yang akan diangkat dalam kabinetnya kepada KPK dan PPATK.
Nyatanya, harapan publik menguap. Ketika Jokowi tak mengindahkan beberapa menteri yang dipersoalkan oleh masyarakat, menjadi sorotan media massa, karena dianggap tak pantas dari rekam jejaknya. Jokowi diduga juga tetap mengakomodir calon-calon menteri yang berdasarkan penelusuran KPK bermasalah, meski publik tidak mengetahui dengan pasti 8 nama yang bermasalah dari temuan KPK, karena sifatnya yang rahasia menyangkut nama baik seseorang.
Calon-calon menteri terpilih terlihat jelas adanya unsur mengakomodir pilihan partai tanpa mengedepankan the right person and the right place. Intervensi partai memang terlihat sangat kuat merecoki hak prerogatif Presiden Jokowi dalam menseleksi para menteri.
Ketika pembagian jatah menteri untuk partai-partai pengusung Jokowi-JK sangat terasa posisi tawar-menawarnya, PKB gonta-ganti calon yang diajukan terlebih ketika Muhaimin Iskandar harus merelakan dirinya untuk memilih tidak di kabinet sangat terasa utak-atik angka jatah menteri bertambah lalu kembali seperti semula dan akhirnya bertambah 1 menjadi 3 diduga karena konsekuensi mundurnya Muhaimin.
Intervensi Megawati sebagai Ketua Umum PDIP tempat Jokowi bernaung juga begitu kental, hingga terjadi pengunduran pengumuman di pelabuhan Tanjung Priok spekulasi yang berkembang tingginya peran Megawati dalam menentukan calon-calon yang akan diajukannya, diterima, diragukannya, ditolak, hingga terpilih.
Meski riak kecil di PDIP terjadi setelah menteri terpilih dan dilantik karena pengurangan jatah menteri dari partai dari semula 15 calon menjadi 13 calon, jatah PDIP yang direncanakan dapat 7 jatah menteri berkurang menjadi 4 jatah menteri terkesan tidak memiliki perbedaan jauh dengan PKB, dan Nasdem semestinya perolehan jatah menteri tidak disamakan sebab, perolehan suara PDIP dalam pileg 9 April lalu bisa membawa PDIP kembali menjadi partai pemenang pemilu, hal ini bisa diduga terjadi karena kuatnya tarik-menarik kepentingan di koalisi sehingga diupayakan win-win solution.
Kekecewaan publik tambah besar, ketika Jokowi mengumumkan calon menteri terpilih ternyata petinggi partai malah diakomodir dalam susunan kabinetnya khususnya PDIP yang tidak konsisten dengan mengajukan Sekretaris Jenderal Jahjo Kumolo tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri. Jokowi juga tidak menepati janji yang merencanakan kabinet ramping, PPP yang pada Pilpres lalu mendukung Prabowo malah bergabung dalam barisan partai koalisinya dengan memperoleh 1 jatah menteri.
Semestinya Jokowi tak perlu lebay melihat realitas pemerintahan terbelah, Parlemen dikuasai oleh Koalisi Pendukung Prabowo dengan fakta disapu bersihnya unsur Pimpinan DPR dan MPR. Saat itu pula, Rapat paripurna deadlock dalam pembentukan kepemimpinan Komisi dan Alat Kelengkapan Dewan. Jokowi menggunakan beragam upaya merayu PAN, PD, Golkar, PPP, hingga Gerindra untuk masuk ke dalam kabinet dengan melakukan bargain politik melalui tawaran kursi menteri.
Meski akhirnya hanya PPP yang bisa dibujuk. Sebab, PPP kejepit dan hanya mengedepankan kekuasaan belaka, ketika melihat realitas PPP sedang kisruh dualisme kepemimpinan dan tidak dianggap oleh Koalisi Pendukung Prabowo sehingga tidak memperoleh jatah di Pimpinan DPR dan MPR. PPP bermain dua kaki, tanpa kejelasan PPP versi mana yang diakui oleh Mahkamah Partai dan pas diakomodir di kabinet. Jokowi pun tertipu oleh sifat licik PPP, di satu sisi memperoleh menteri di sisi lain melakukan pressure guna memungkinkan memperoleh pimpinan Komisi dan Alat Kelengkapan Dewan lebih banyak untuk mengobati kekecewaan tidak terakomodir di Pimpinan DPR dan MPR, akhirnya diajukannya nama-nama anggota komisi PPP versi Suryadharma Ali dan diterima oleh Pimpinan DPR karena memenuhi kuorum 6 fraksi, sementara Koalisi Indonesia Hebat masih teguh untuk tidak menyerahkan nama-nama anggota. Bahkan, pemerintahan Jokowi pun harus menerima serangan balik, Komisi III berencana mengajukan hak bertanya mengenai dikeluarkannya Surat Keputusan Menkumham dalam 1 hari kerja Menkumham, selain itu oleh PPP, pemerintah dianggap telah mencampuri urusan internal PPP yang semestinya bisa diselesaikan oleh Mahkamah Partai malah dengan dikeluarkannya surat keputusan Menkumham yang “melegitimasi” PPP versi Romahurmurzy dianggap memperuncing dualisme kepemimpinan di PPP.
Melihat realitas di atas, tampaknya Jokowi sebagai person atau eksekutif, perlu terus mengasah kepemimpinan diri sehingga menjadi kuat, dan jangan sampai khawatir berlebihan dengan terjerumus arus perebutan kekuasaan di parlemen akibat pemerintahan terbelah, lalu misalnya, mengeluarkan Perppu UU MD3, jika hal ini terjadi, artinya pemerintah mengabaikan realitas bahwa dalam sistem presidensiil, parlemen dan eksekutif memang dua institusi berbeda melainkan juga independen terhadapnya.
Sebagai Presiden terpilih yang didukung rakyat, Jokowi harus menghasilkan kebijakan pro rakyat, sebagai pengemban kewenangan amanah rakyat, sehingga rakyat dibelakang pemerintahan Jokowi dan tidak perlu khawatir pemerintahan akan terganggu oleh pemerintahan terbelah.
Pemerintahan Jokowi harus memiliki napas ekstra sabar dengan cara komunikasi aktif dan cermat, pendekatan melobby, musyawarah, dan menghindari voting karena kekuatan mayoritas dimiliki Koalisi Merah Putih. Berikutnya, peran penjaga akuntabilitas mesti lebih diberdayakan dan diperhitungkan dan dipergunakan hasil rekomendasinya, seperti KPK, BPK, PPATK. Peran Pers sebagai bagian pilar demokrasi perlu juga dirawat dengan komunikasi politik yang transparan.
Hal yang tak kalah penting dan awal dari pembentukan pemerintahan adalah Jokowi harus menggelorakan dan memadukan kekompakan dan loyalitas dari wakil presiden dan anggota kabinet sebagai pembantu presiden, karenanya meskipun publik kecewa menteri-menteri terpilih beberapa diantaranya dianggap tidak mengedepankan the right person and the right place, tetapi kekompakan dan loyalitas dalam bekerja untuk rakyat tetap dapat terwujud.
Masih banyak waktu dan kesempatan Jokowi kembali mengedepankan rakyat jangan sampai hanya simbol dan pencitraan belaka dan dirasuki kekhawatiran berlebihan dalam menjalankan dan mengelola pemerintahan. ◘
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H