Suaramu telah meninggalkan salah satu semesta dari dalam telinga kecilku,
persis ketika kamu menyentuh tombol merah dari sudut telepon genggam mu.
Selamat tidur yang kau ucapkan adalah kalimat selamat jalan-jalan untuk pikiranku.
Tubuhku membatu, sementara pikiranku seperti sepasang sepatu kecil yang bepergian jauh tanpa kakiku di dalamnya meski tubuhku selalu berada di atasnya.
Cuma perlu satu langkah, Sepatu itu telah sampai di jalan yang kau dan aku sebut sebagai bukan kebetulan, pertemuan dulu itu.
Ia hendak mengendus aroma bahagia yang mengambang di udara petang itu, namun sepatu itu memang tak mempunyai hidung.
Maka, ia hanya membuat langkah kecil di atas jejak-jejak kaki kita, hingga tiba di pintu pagar mu yang tengah malam begini telah terkunci. Sekali lagi, sepasang sepatu itu tak punya tangan untuk menyibak pintu pagar mu.
Namun, ia memang sepasang sepatu yang nakal.
Tiba-tiba saja, ia telah menjejakkan kaki di halaman belakang rumahmu yang dikelilingi pagar tinggi sejengkal di atas kepala.
Halaman yang "kau dan aku" sebut sebagai hari yang menyenangkan.
Tiba-tiba sepatu itu melompat lagi. Ia pulang ke dalam pikiranku dengan membawa semua kenangan di dalamnya.
“Terima kasih untuk hari ini.”
Dari sekian banyak cerita yang kita tumpahkan di halaman depan, hanya itu yang selalu aku bawa pulang. Lalu, sepasang sepatu itu entah ke mana. Hilang.
Aku kembali menjadi seumpama batu yang bernapas,diam, tak bergerak.
Setia menunggu terbit dari jari-jari yang menyibak ratusan lembar dalam ingatan tentang dirimu. Barangkali nanti ada beberapa bagian yang bisa mengantarku kembali ke dalam tidur atau ke jalan lain menuju embun di jendela matamu yang pagi.
Teruntuk wanita yang slalu ku pinta dalam setiap sujud ku.
Pamulang . 18 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H