Mohon tunggu...
Pendik Saputro
Pendik Saputro Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pelaksana pada Sekretariat Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Halte

22 Mei 2011   07:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:22 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku menunggumu. Jadi aku punya banyak waktu. Kamu selalu membuatku lama menunggu. Sedangkan aku selalu memilih halte sebagai titik temu.

Aku senang duduk di halte sendiri, seperti saat ini. Walaupun biasanya ramai, toh aku tetap merasa sendiri. Hanya berteman imajinasi. Tak menyapa apalagi bertutur kata. Itu sudah biasa terjadi di kota, seperti di sini juga. Tapi kali ini aku tak berfantasi. Aku menikmati lalu-lalang bus-bus kota. Mulai dari rombongan si jorok Metromini, Kopaja dan Bajaj hingga si mewah Silver Bird.

Pernah sekali aku menunggumu sangat lama. Bahkan hingga aku berhasil mengkhatamkan buku setebal selimut kemping pramukaku di Gunung Bromo. Tengah malam saat menatap halaman terakhir buku itu kuputuskan untuk berhenti menunggumu dengan tekat melanjutkan lagi besoknya. Sudah tak ada kecewa lagi waktu itu karena sudah kesekian kalinya kamu tak datang.

Hari pertama menunggumu mungkin adalah saat yang paling sukar untuk dilupakan. Hari itu sekaligus pertama kali kutemukan halte ini. Setelah letih menyusuri trotoar yang sesak dipenuhi pedagang kaki lima,aku menemukan halte ini dalam kondisi kosong yang belakangan kuketahui halte ini memang lebih sering kosong. Hanya aku yang setia duduk menanti di sini. Sejam pertama duduk melamun saja di halte itu. Memikirkan apa-apa yang akan kulakukan, yang akan kukatakan bila kamu datang. Tapi kamu tak kunjung datang. Hampa rasanya, kesal jadinya. Tapi bisa apa. Mau marah tak tahu pada siapa. Padahal andai kamu menemuiku tak perlu lama,cukup menyisihkan sejumput saja waktumu, aku akan sangat senang. Tapi kamu tetap tak datang hingga sejam berikutnya. Dan ketika turun hujan yang jatuhnya tak dapat dibendung atap halte ini,aku pun memutuskan untuk pulang membawa segala kekecewaan.

Ini adalah ketiga belas kalinya aku menunggumu. Dua belas kali sebelumnya kamu tak pernah datang. Namun, aku tetap setia menunggumu di halte ini tiap senja tiba. Kali ini aku merasa yakin bahwa kamu akan datang. Jadi, aku akan menunggumu meski harus dengan membunuh waktu yang panjang, sangat panjang berpedang diam. Tiga belas adalah angka mistis menurut sebagian orang sekaligus angka keberuntunganku bulan ini. Setidaknya begitu kata ramalan zodiak yang kubaca di majalah langgananku. Lumayan untuk memompa keyakinanku akan kedatanganmu kali ini.

Rupanya pikiranku tak bisa lama berdiam. Begitu aku melihat satu sepeda motor yang melaju dengan gesit, aku teringat sepenggal cerita semasa SMA. Kala itu aku selalu mengendarai sepeda motor setiap berangkat ke dan pulang dari sekolah. Aku senang sekali ngebut. Gerakan gesit seperti motor yang tadi baru kulihat sangat perlu dilakukan di kota sesak ini. Mengendarai sepeda motor itu seperti bermain tetris–game kuno yang menjadi satu-satunya permainan berbasis teknologi yang kupunyai waktu masih kanak-kanak – aku harus pandai-pandai menyisipkan motorku di sela-sela tumpukan mobil-mobil dan bus-bus kota, dengan begitu aku dapat menerobos kemacetan dengan segera.

Aku paling sebal ketika berada tepat dibelakang Metromini. Mereka selalu mengepulkan kentut hitam, kotor dan bau tepat di wajahku. Bukan itu saja Metromini juga sering membuat kemacetan. Berhenti seenaknya, pindah sisi jalan seenaknya, seperti kutu loncat semua semau dia. Namun, sekali pernah juga akumerasa kasihan padanya. Lelaki pengendara sepeda motor di depanku rupanya telah siap dengan sebongkah batu di genggamannya. Ketika lagi-lagi si Metromini berulah – berhenti tepat di depan rombongan sepeda motor kami, padahal jalan yang kami lalui saat itu hanya seluas bodinya – kesallah si lelaki itu. Langsung saja dihantamkannya bongkahan batu itu tepat pada kaca spion di samping kursi si sopir. Oh, berani sekali dia menantang kegaduhan, pikirku. Aku mengambil nafas dalam-dalam. Sabar ya pak, demikian aku membatin. Kota ini memang sudah rusuh. Tak ada toleransi di jalanan. Jadi, mengapa heran? Batinku bertanya.

Melewati jalan sempit di depan mall yang baru saja diresmikan sungguh sangat menyita waktu. Sudah sempit jalannya, masih dipotong pula sepertiganya sebagai jalur khusus busway. Jalan ini benar-benar macet saat jam pulang kantor yang kebetulan bersamaan dengan jam pulang sekolahku ketika aku menginjak kelas dua. Tak seharusnya busway merebut jalur kami ini. Jalan ini merupakan muara dari puluhan gang kecil di sisinya. Ini menyebabkan kendaraan tidak dapat melaju kencang karena akan berpapasan dengan kendaraan lain dari tikungan-tikungan itu. Akibatnya kendaraan-kendaraan kami jadi tertumpuk di situ. Lagi pula tak pernah kulihat busway yang melaluinya selalu terisi penuh penumpang.

Aku paling suka waktu melewati TPU (Tempat Pemakaman Umum). Jalan utama menuju ke sekolahku memang membelah salah satu pemakaman China terbesar. Tidak, bukan makam China saja sebenarnya yang ada di situ, tapi juga makam pribumi dan makam pahlawan. Tak heran kalau TPU itu menyedot banyak sekali lahan di kelurahanku, kurang lebih sepertiganya hingga membuatnya sering disebut tanah orang mati. Bukan apa-apa, aku hanya suka mencium bau bunga kamboja yang ditanam atau mungkin tumbuh liar di area pemakaman itu. Menghirup bau itu mengingatkanku pada sosok nenekku yang selalu memajang seikat bunga kamboja di kamarnyajuga menenteramkan amarahku yang muncul karena kemacetan yang telah kulalui sebelumnya. Nenekku selalu menjadi mata air ketika jiwaku gundah melalui setiap tutur katanya yang begitu manis, melegakan jiwa. Salah satu yang kuingat adalah saat beliau menenangkanku yang sedang ketakutan oleh gemuruh petir di langit, “Tenang sayang, coba dengarkan baik-baik! Rintik hujan bersama-sama desahan angin dan gemuruh petir itu membentuk harmoni yang indah. Jangan takut! Dengarkan dan nikmati saja, nenek akan memnyanyikan sebuah lagu untukmu dalam iringan mereka.” Lalu nenek menyanyikan lagu Hujan ciptaan Ibu Sud untukku. Bau itu begitu tajam mengalahkan bau busuk kentut kereta. Aku pun selalu menghirupnya banyak-banyak untuk menetralkan kebusukan yang merasuk ragaku.

Namun, lega akibat aroma kamboja itu tak dapat bertahan lama. Kemudian aku harus melewati perlintasan kereta api. Satu lagi yang sangat melekat di ingatanku adalah saat berada di perlintasan jalan kereta api itu. Semerawutnya kota ini benar-benar ditelanjangi disana. Perlintasan kereta ini berpotongan tepat dengan perempatan jalan. Jadi, ketika portal ditutup begitu lama karena ada dua kereta yang hendak melintas, akan terjadi macet total di sana. Keempat badan jalan dipenuhi dengan segerombolan sepeda motor, angkot, Metromini, juga mobil. Kami sama-sama siap melaju seperti hendak tawuran saja.Saling berebut menyusup ke tengah seketika portal dibuka. Hasilnyakami semua berhenti di tengahnya, tak dapat bergerak sama sekali. Benar-benar bodoh, pikirku. Tapi aku pun juga melakukan hal yang sama. Mau bagaimana lagi, aku tak bisa menghindar. Itu sudah menjadi sistem. Setiap hari pun akan demikian, kecuali ada beberapa personil polantas yang mau mengaturnya.

Kemacetan di perlintasan jalur kereta api itu belumlah menjadi akhir dari perjalanan pulangku dari sekolah. Aku masih terpaksa harus melewati jalan rusak parah sepanjang dua kilo meteran karena tak ada jalur alternatif. Jalan itu benar-benar hancur. Sulit untuk mendeskripsikannya. Tapi pernah ada seorang ibu hamil naik angkot yang melalui jalan itu, bayinya memberojol saat itu juga.

Setiap dalam perjalanan aku selalu menemukan hal baru. Hal baru yang menjadi penyebab kemacetan. Penyempitan jalan, genangan air akibat hujan, kondisi jalan yang rusak, kendaraan umum yang berhenti sembarangan, mobil yang keluar gedung, juga persimpangan jalan. Rupanya di sini hal sepele pun bisa mengakibatkan kemacetan. Misalnya pengemudi yang acuh tak acuh, menelepon sambil menyetir atau messenger-an di depan kemudi. Pengendara sepeda motor pun tak mau kalah gaya.Tak mengacuhkan semprotan klakson karena menyumpal kupingnya dengan earphone iPod.

Cerita iPod ini mengingatkanku pada kenangan pahitku kehilangan dua keping hidupku, tangan kananku juga sahabatku. Waktu itu jalanan dua arah yang kulewati agak sepi sehingga aku bisa melajukan motorku dengan kencang. Sementara sahabatku sedang asyik ber-sms di jok belakang motorku. Ketika aku hendak menyalip angkot di depanku, aku harus menyalip dahulu pengendara yang kupingnya bersumpal iPod itu. Sudah kuperingatkan dia agar tidak berpindah posisi dengan dua kali mengklaksonnya. Kukira semua telah terkendali. Begitu ada kesempatan langsung kusalip mereka. Namun, ternyata motor itu secara bersamaan juga menyalip angkot di depan. Aku membanting setir ke kanan untuk menghindari menabrak motor itu, sementara dari depan,angkot lain mengakselerasi lajunya. Kejadian itu mengamputasi lenganku sekaligus mencabut nyawa sahabatku.

Rupanya memori itu cukup menyita waktuku. Sudah terlalu lama aku menunggu. Sudah tak sanggup lagi aku berfantasi. Sudah jenuh. Sudah bosan. Tiga jam hanya duduk diam dan melamun. Padahal seharusnya dengan tiga jam ini aku sudah bisa mencapai puncak tiga kali. Ya, minimal tiga kali orgasme. Tapi apa yang telah ku dapat kali ini dengan menunggu selama tiga jam, hanya jenuh. Kalau begini kesabaranku benar-benar terkikis. Menjadi tipis setipis selaput dara. Kesabaranku sudah tak kokoh lagi, bahkan tak mampu menandingi rapuhnya cangkang telur. Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun. Tapi aku akan tetap menunggumu. Setia seperti halte ini yang juga setia menemaniku.

Otakku terus memutar, apa yang sebaiknya kulakukan untuk membunuh kebosanan ini? Juga untuk menghadang kekesalan ini? Kenapa kamu tak juga datang? Kamu sungguh menyebalkan. Baiklah kuumpatkan segala macam umpatan dari berbagai bahasa yang ku bisa. Mulutku terus meracau seiring semakin mendidihnya hatiku. “Menyebalkan sekali kamu,Son of Bitch. Dasar taik. Asu. Ah… damn you asshole.” Mulutku susah berhenti kalau sudah begini. tapi apa yang kudapat? Kekesalan itu pun tak kunjung padam.

“Oya, rokok.” Pikirku rokok akan membantu membunuh amarahku pada kealpaanmu. Tapi nuraniku segera melarang, “Jangan! Untuk yang satu ini jangan kamu lakukan!” Begitulah kira-kira katanya. Aku teringat akan komitmenku yang telah kuambil sekitar dua tahun lalu. Awalnya kuanggap komitmen sepele, berhenti merorok titik. Tapi nyatanya susah sekali untuk melakukannya. Apa lagi di saat-saat stres melanda seperti ini. Namun, selama dua tahun ini aku berhasil melakukannya. Masa aku menyerah hanya karena kesal menunggu tiga jam. Lalu apa gunanya dua tahun perjuangan itu. “Ah sial, rupanya ide ini hanya menambah kekesalanku saja.” Baiklah aku segera mengurungkannya.

Puluhan kali kutengok arlojiku. Baru beranjak dua menit. Kenapa tiba-tiba saja jarum jam ini malas bergerak? Apa kamu kehabisan tenaga? Tidak ah, kamu kan masih baru. Aku sudah mulai menggila. Tega sekali kamu membuatku menunggu begitu lama. Liatlah! Matahari sudah pergi. Tak ada rembulan yang mau menemani. Apa lagi bintang-bintang. Mereka semua sembunyi di balik gelapnya tumpukan awan. Barang kali mereka takut kena amukanku. Siapa juga yang mau mengamuk padanya. Dasar benda-benda ke-ge-er-an.

Lengkap sudah kesepianku di sini. Halte ini begitu sepi. Kalah jauh dibanding lapak pedagang kaki lima di bawah jembatan penyeberangan itu. Terang saja mereka lebih suka berhenti di situ. Toh bus-bus kota tetap akan menghampiri mereka. Tidak ada aturan yang melarang bus-bus itu untuk berhenti di sembarang tempat. Mungkin pemerintah saja yang salah meletakkan halte ini. Sudahlah biarkan saja. Dengan begitu kota ini akan semakin semerawut sehingga segera akan mendapat julukan kota paling semerawut sejagad.

Oh itu dia rupanya. Lega seketika hati ini melihat sosokmu muncul di seberang jalan, ibarat musafir yang menemukan oase di padang gurun. Tanpa membuang waktu lagi aku bergegas berdiri dan berlari menyongsongmu. Aku lari begitu kencang menuju padamu. Begitu sampai padamu kurengkuh tubuhmu,kudekap erat. Bibirmu kulumat. Ini adalah perjumpaan pertama kami. Pertama dan teristimewa. Begitu puas menikmatinya, kami pun segera pergi bersama. Pergi jauh meninggalkan kota semerawut ini.

Mendadak jalanan kembali macet total. Orang-orang berkerumun di tengah jalan Sudirman itu. Mengerubungi mayat segar yang baru saja menjadi korban tabrak Metromini. Sesosok mayat tanpa lengan kanan itu sesungguhnya cantik, namun mukanya telah hancur terlindas ban Metromini itu. “Saya tidak salah pak Polisi. Jalanan lancar, tentu saja saya ngebut. Tapi tiba-tiba perempuan ini berlari kencang memotong jalan. Saya tak dapat menghindari lagi. Dia yang salah. Seharusnya dia menyeberang lewat jembatan itu.” Begitulahlahpembelaan supir Metromini itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun