Mohon tunggu...
Pendik Saputro
Pendik Saputro Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pelaksana pada Sekretariat Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Malam-Malam Dona

17 Januari 2011   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:30 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku suka malam. Malamku memberi keceriaan, ketenangan dan kedamaian. Tidak selalu begitu tapi selalu setia datang menemaniku. Ia mengusir teriknya mentari sekaligus rutinitas siang yang membosankan.

Kutunggu lima menit masih di dalam mobil, setelah aku berhasil memarkirnya pelan-pelan di garasi. “Tidak ada lampu menyala. Ah tentu saja mereka sudah tertidur lelap,” batinku bicara. Aku pun mengendap-ngendap menuju pintu. Kupegang gagang pintu. Kuputar nyaris tanpa suara. “Ah, sial. Dikunci,” umpatku pelan. Dengan terpaksa aku memencet bel sambil berharap mbak Inah yang akan membukakan pintu untukku. Dua kali kupencet belum nampak ada orang yang sudah bagun. Kupencet sekali lagi. Kali ini dengan menahannya agak lama. Kudengar bunyi tet panjang dan nyaring di dalam. “Maaf, aku mengganggu tidur kalian,” kata nuraniku, tentu saja tanpa bersuara.

Pintu akhirnya dibukakan. Aku pun langsung masuk sambil mengucapkan selamat malam padanya. Dengan segera pintu ditutupnya kembali. Aku tahu dia jijik melihat malam.

“Dona! Jam berapa ini?” tanyanya dengan nada geram. Aku heran, keras juga bentakkannya meskipun matanya masih menyala dua Watt.

Kulirik jam dinding tergantung di atas lukisan. “Jam empat Ma. Maaf, Dona mengganggu tidur Mama.”

“Jam empat??” tanyanya dengan nada yang semakin meninggi. Dikuceknya kedua matanya, lalu ia memelototi jam dinding itu.

“Kenapa sih Ma? Emang sudah waktunya jam empat kok.Bentar lagi juga jam lima. Entar juga jam enam. Begitulah waktu.”

“Kelayapan kemana saja kamu?” tanpa menghiraukan perkataanku, mama menyelanya begitu saja.

“Main.”

“Dona. Main itu ada waktunya. Ini waktu untuk tidur.”

“Sesekali gak apa-apa kan Ma?” masih dengan santai aku menanggapi kegeramannya.

“Mama gak mau kamu jadi cewek berandalan yang keluyuran malam-malam.”

“Ma, dengan keluar malam bukan berarti Donaugal-ugalan kan?” kuucapkan dengan nada lebih tinggi. Tampaknya aku mulai terbawa suasana.

“Kamu mabuk?” teriaknya lebih miripmemaki daripada bertanya. Mama pasti sudah mencium bau mulutku.

“Dona hanya mencicipi Ma, tidak sampai mabuk. Mama lihat sendiri, kan? Dona masih waras.”

“Bukan berandalan tapi mabuk. Pulang pagi. Mau jadi apa kamu Don? Mama benar-benar kecewa.”

“Ma, Ini masih Donayang sama Ma, yang membanggakan Mama dengan segudang prestasi, yangakan S2 ke Jerman dengan beasiswa.”

“Cukup Don, jelas kamu sudah beda. Kamu masuk dunia malam. Dunia gelap yang kotor, kejam, licik dan penuh nafsu.”

“Sudahlah Ma, Dona capek. Dona mau tidur,” kataku sambil melangkah ke kamar.

“Dona!” panggilnya keras. “Mama tahu ini bukan yang pertama kali. Mama tahu sudah lama.”

Tak kuhiraukan kata-kata mama. Kututup pintu. Kukunci. Aku pun langsung melemparkan tubuhku ke kasur.

***

Meskipun hanya sebentar, tapi aku tidur sangat nyenyak. Pukul 06.30 kami berdua sudah duduk di depan meja makan dan menikmati sarapan. Aku telah siap untuk kuliah. Aku yakin mukaku tampak segar seperti telah bangun dari tidur delapan jam, meskipun faktanya tidak seperti itu. Kutelan potongan terakhir sandwich ini. Kuteguk habis segelas susu hangatku. Sarapanku selesai, lalu kubuka percakapan dengan satu kalimat. “Dona minta maaf Ma.”

“Dona, Mama selalu sudah memaafkanmu sebelum kamu memintanya.” Katanya sambil meletakkan sandwich di piringnya. “Mama minta itu malam yang terakhir. Mulai sekarang kamu harus sudah di rumah sebelum jam sembilan.”

“Dona perlu bergaul, Ma. Dona butuh refreshing.”

“Bukan dengan cara seperti itu Don.”

“Dona tahu. Mama pasti ingin Dona bergaul di gereja, dengan orang-orang suci versi Mama.”

“Dona! Mama hanya ingin memastikan kamu bergaul dengan teman yang baik.” Nada bicara Mama mulai meninggi.

“Apa Mama pikir mereka adalah anak baik-baik? Kita sama Ma, siapa pun kita, pasti ada baik-buruknya.”

“Mama tahu Don, paling tidak mereka mau belajar untuk menjadi lebih baik.”

“Dona juga belajar Ma. Bedanya, mereka belajar teori di gereja, sedangkan Dona belajar praktek di dunia nyata.” Lagi-lagi aku membantahnya.

“Kamu belum siap Nak.”

“Sudahlah Ma, Dona berangkat, sudah hampir telat,” kataku sambil mengambil tasku. Ini selalu menjadi kalimat yang menyudahi adu mulut kami. Kucium tangannya dan aku pun pergi.

Aku merenung selama perjalanan ke kampus. Mengapa Mama begitu membenci malam adalah sebuah misteri bagiku. Mama bilang kegelapan itu menakutkan. Malam itu kejam. Malam itu iblis. Malam itu kotor. Malam itu penuh intrik, tipu muslihat dan nafsu. Bahkan kupu-kupu yang cantik akan menjelma menjadi makhluk hina kala malam. Tak pernah satu pun keindahan malam terlintas di pikiran Mama. Tapi Mama tak pernah memberikan alasannya.

Begitu dalamkebenciannya pada malam membuat mama tak pernah mengizinkan malam untuk singgah. Sejak saat yang masih bisa kuingat, Mama tak sekali pun mengajakku keluar saat malam. Sebagai hadiah ulang tahunku yang jatuh bertepatan dengan malam tahun baru, aku selalu meminta mama untuk menemaniku melihat kembang api. Mama tak pernah memenuhinya, bahkan hingga sekarang. Mama selalu memenjarakan dirinya di rumah, menutup semua pintudanjendela tanpa meninggalkan celah.

Andai saja tidak membenci malam, Mama pasti bisa menikmati malam seperti apa yang selama ini aku rasakan. Aku mulai mengenal malam sejak aku kuliah. Malamadalah waktu yang selalu kunantikan. Aku merdeka di kala malam, terbebas dari segala aturan, terlepas dari segala kewajiban. Aku selalu menunggunya datang dan ia tak pernah mengecewakan. Ia mempertemukanku dengan bintang-bintang yang memberi hatiku terang. Ia membawaku ke dalam mimpi yang lebih indah dari kenyataan. Malam menjadi ayah yang selalu mendengarkanku berkeluh kesah.

***

Sebulan telah berlalu, malam-malamku berjalan serupaselalu. Bukan perkara di mana, melakukan apa, atau dengan siapa, tapi hanya untuk bersama malam. Malam itu bebas, aku berhak melakukan apa saja yang kusuka termasuk hanya berdua saja dengan malam hingga malam itu meninggalkanku. Tapi mama selalu berusaha menceraikanku dari malam. Namun usahanya tak pernah berhasil. Aku lebih muda, aku lebih cerdik. Aku tak kekurangan cara untuk menerobos kungkungan Mama dan selalu berhasil. Jadi aku tak perlu kehilangan satu momen pun bersama malam.

Tidak untuk malam ini. Malam ini akan berbeda, aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan malam. Kami akan berpisah secara baik-baik. Aku tidak akan membencinya seperti Mama. Tidak, aku salah. Aku bukan hendak berpisah dengan malam, tapi aku akan meninggalkan kebebasan yang dia berikan. Malam tetap akan menjadi ayahku. Ayah yang sama, yang setia mendengarkan keluh kesahku sekaligus ayah yang berbeda, yang tidak lagi memanjakanku, tapi yang memberiku tanggung jawab. Semoga ini menjadi kabar yang membuat mama bahagia.

Waktunya telah tiba untuk mengatakannya. Saat ini kami, aku dan mama sedang menikmati makan malam berdua. Ini yang pertama kali sejak aku mengenal malam karena aku selalu dinner bersamanya. Kulihat senyum di bibir mama juga tanda tanya. Wajar. Mama pasti senang, tapi bingung mengapa anaknya duduk makan bersamanya bukan kelayapan seperti yang biasa dilakukannya. Aku masih akan menyimpan jawabannya sampai makan malam ini selesai.

Kini waktunya benar-benar tiba, aku harus mengabarkan berita bahagia ini. Tapi kenapa aku takut? Tidak, aku tidak boleh takut. Aku harus mengatakannya. Ah mulutku masih terkunci rapat hingga mama mendahului percakapan.

“Mama senang kamu di rumah, sayang.” Ucapnya sambil menyunggingkan seuntai senyum lagi.

“Dona akan selalu di rumah Ma.”

“Maksudmu, kamu nggak akan keluar malam lagi?”

“Iya Ma. Mama senang?”

“Tentu saja sayang, tidak ada lagi yang lebih membuat Mama senang.” Mama meninggalkan kursinya. Menghampiriku dan memelukku.”

“Apa Mama benar-benar senang?”

“Sayang, Mama nggak ngerti.” Dengan lembut mama mengangkat daguku, sehingga ia bisa menatap mataku.

“Sayang, Mama bisa menggantikan malam untuk mendengar ceritamu.” Mama masih menatapku. Ia mengungkapkan tawaran bukan paksaan. Itu membuatku semakin takut untuk melukainya.

“Dona hamil Ma.” Segera kutenggelamkan mukaku di dadanya dan kupeluknya erat-erat.

“Apa?” mama kaget, tapi tak dilepaskannya pelukannya justru semakin erat mama memeluk tubuhku. Kenapa mama tidak marah? Aku mengharapkan mama marah supaya tidak melihat kesedihannya. Kami saling diam dengan tetap berpelukan. Kuberanikan diri mengangkat wajahku dan menatapnya.

“Mama?” kataku diiringi menetesnya air mataku. Aku hancur melihat mata Mama yang begitu pedih, dalam sekali. Bahkan kesedihanku pun sebagai tak sebanding dengan kepedihannya. “Ma, Dona minta maaaf.” Mama tetap diam saja. Mama seperti mati rasa sehingga tak sanggup berkata-kata. Aku takut. “Ma, katakanlah sesuatu! Mama berhak marah. Mama berhak membenci Dona seperti Mama membenci malam.” ekspresi mama tak berubah. Pandangannya kosong. Aku semakin takut.

“Sayang,” akhirnya mama mengucapkan sesuatu. “Mengapa harus terjadi lagi?” ia terdiam sejenak. “Kamu adalah anak malam. Malam yang membuat mama melahirkanmu. Malam yang membuatmu terlahir tanpa ayah.”

Ternyata ini adalah jawaban dari misteri itu. Aku adalah anak malam. Untuk mencintaiku mama rela membenci malam. Namun, aku malah menghadiahinya anak malam yang kini mendekam di perutku. Tapi biar. Hak mama untuk membenci malam, hanya ia harus mengakui bahwa kini aku bukan sekedar berayahkan malam melainkan juga bersuamikannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun