Mohon tunggu...
Ilham Akbar
Ilham Akbar Mohon Tunggu... -

Ketua Umum PK IMM Prof. DR HAMAK (FT_FBS) Unimed

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Indonesia

19 Oktober 2013   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mencari Relevansi Sistem Pendidikan dan Karakteristik Bangsa,
Menelaah Kembali SI Semarang Onderwijs

Oleh : Ilham Akbar Darmawan

(Ketua Umum PK IMM Prof. DR HAMKA Unimed)

Enggan sebenarnya setiap kali membicarakan setiap aspek yang berkaitan dengan sistem pemerintahan negeri ini, bukan tanpa alasan, namun setiap kali kita membahasnya sangat sulit untuk menghindarkan kelemahan-kelemahan suatu pengaturan sistem yang sedang berjalan. Setiap pembahasan secara tidak langsung sebenarnya kita hanya akan membuka satu sisi wajah buruk bangsa yang masyur ini, namun apalah daya, realita memang berkata bahwa memang belum ada suatu sisi unggul yang bisa di jadikan panutan oleh tanah bertuah ini. Hal itu memaksa kita untuk mengkaji suatu permasalahan yang turut memberikan sumbangsih akan kebobrokan sistem yang tumbuh bersama dengan tumbuhnya jumlah para pakar yang membidangi setiap permasalahan yang ada. Menarik tentunya untuk dikaji karena fakta ternyatamenyajikan disingkronisasi yang berujung penderitaan dan ketidaksetimbangan ditengah kehidupan sosial. Butuh waktu yang sangat panjang tentunya untuk menjabarkan dan menelaah segala permasalahan yang kian gamblang di hadapan kita, namun dunia pendidikan nampaknya merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk di perbincangkan.

Pendidikan merupakan sebuah elemen terpenting dalam suatu kelompok masyarakat ataupun suatu Negara. Setidaknya, terdapat dua fungsi pokok dari pendidikan. Pertama, ia menjadi instrument bagi berlangsungnya proses pewarisan nilai, norma, bahasa, religi, institusi social, teknologi dan pengetahuan berkehidupan dilakukan. Kedua, ia berfungsi sebagai alat bagi pembentukan karakter dan identitas. Melalui pendidikanlah nantinya anak-anak (peserta didik) akan diajarkan dan diberi tahu tentang sesuatu yang seharusnya dilakukan dan sesuatu yang dilarang, sesuatu yang benilai baik, terpuji, berbudi luhur dan terhormat, serta apa-apa saja yang terlarang, hina, dan bernilai rendah. Pada gilirannya, pendidikan berfungsi untuk menjaga harmonisasi kehidupan, dan menjadi pemersatu bagi masyarakat melalui pembentukan identitas.

Untuk mengawal perjalanannya, diperlukan sebuah system yang baik sebagai acuan atau pedoman keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan agar tetap berjalan sesuai koridor dan fungsinya dalam kehidupan. Pendidikan Indonesia tentunya memiliki keunikan tersendiri senada dengan keunikan budaya bangsa yang tersebar di seluruh daratan yang dipersatukan oleh sebuah slogan magis “Bhinneka Tunggal Ika”. Falsafah pendidikan yang juga berbeda dengan bangsa lain karena mengacu pada Falsafah Negara (Pancasila) semakin memberikan warna yang berbeda dengan gaya pendidikan yang ada di seluruh dunia. Namun apakah dalam penerapannya bisa benar-benar seperti yang diharapkan? Inilah yang akan menjadi objek kajian kita bersama.

“Mencerdaskan kehidupan bangsa”, Mungkin kalimat tersebut cukup memberikan makna dan fungsi pendidikan nasional, artinya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah harga mati bagi cita-cita penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik itu laki-laki, perempuan, tua, muda, kaya ataupun miskin. Keseluruhannya merupkan bagian dari bangsa yang tentunya wajib menerima penyelenggaraan pendidikan. Sehingga, mau tidak mau Negara harus siap menjadi pelayan bagi seluruh masyarakat karena semuanya telah di atur di dalam susunan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali hak untuk menerima pendidikan. Hanya saja, sekarang ini bangsa kita dilanda sebuah kalimat yang seakan mulia namun tak berpihak kepada rakyat. Jhon F Kennedy mengatakan “Jangan tanyakan apa yang elah diberikan negara kepadamu, Tapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk Negara”.

Seiring dengan berkembangnya Negara modern Indonesia, tatanan baru pun mulai diperkenalkan, diterapkan dan seakan menjadi jati diri bangsa dan secara tidak langsung juga seakan melupakan tradisionalisme yang sebelumnya dan pada hakikatnya merupakan jatidiri bangsa. Dengan kata lain, bangsa kita mulai terjajah kembali dengan statusnya sebagai bangsa yang merdeka, ironisnya kita terjajah melalui sebuah system yang terorganisir rapi dan berfungsi untuk menjaga “jatidiri dan identitas bangsa”, “Pendidikan”. Akan tetapi, sebagian kelompok(dengan kepentingan pribadi) justru mengafirmasi segala bentuk penjajahan budaya yang perlahan akan menggerogoti kecintaan anak-anak bangsa terhadap negerinya. Bentuk nyatanya adalah dengan di sahkan Undang-undang yang mendukung privatisasi sektor pendidikan, BHP, BHMN, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa pendidikan kita akan pergi semakin jauh meninggalkan hakikat keberadaanya dengan segala peraturan-peraturan baku yang di rancang khusus sebagai tempat “berdagang” bagi mereka-mereka yang berkedok sebagai pembela. Kita bisa menilainya secara langsung dari kurikulum yang selalu diperbaharui dengan konsep yang sebenarnya sama dengan kurikulum yang sebelumnya, kurikulum yang dengan kata lain hanya merupakan pakaian pengganti bagi kurikulum lama yang di anggap telah usang meski belum sepenuhnya dipraktikkan dengan baik dan sesuai yang seharusnya, tidak dipenuhinya fasilitas pendidikan seperti media belajar, sarana dan prasarana, penyediaan buku pelajaran dan lain sebagainya. Selain itu, pembekalan atau pelatihan terhadap guru sebagai pelaksana pembelajaran tidak sesuai volumenya dengan tuntutan yang dibebankan untuk mencapai profesionalisme dan output dari kegiatan pembeajaran itu sendiri.

Meski baru-baru ini sudah dihapuskan, Sistem pendidikan kita pernah menerapkan adanya Sekolah Bertaraf Internasional, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, SSN dan lain sebagainya yang secara gamblang menunjukkan stratifikasi sosial di dalam dunia pendidikan yang pada hakikatnya menjadi hak bagi seluruh elemen masyarakat. Hal tersebut jelas melenceng dari falsafah pendidikan nasional karena tentunya Semakin tinggi status sebuah sekolah sebagai institusi penyelenggara pendidikan (Misal SBI) maka akan semakin mahal pula biaya pendidikan di sekolah tersebut, alhasil anak-anak yang sebenarnya mampu (secara intelektual) tetapi memiliki latar belakang ekonomi yang rendah harus mengurungkan niat untuk bisa belajar di sekolah yang menjadi impiannya.

Lebih jauh lagi, Metode evaluasi (Ujian Nasional) yang terkesan diselewengkan dan menjadi alat untuk mengajarkan kebohongan yang tersistematis, serta demoralisasi pendidik dan peserta didik. Masalah ini terjadi karena munculnya kekacauan norma akibat disharmoni atau kondisi kesaling-berlawanan norma-norma dalam kebijakan pendidikan. Model ini secara tidak langsung merenggut hak-hak guru yang notabene lebih mengenal siswanya dalam penentuan kelulusan, namun pada evaluasi yang terkesan menyeramkan dan penuh kebohongan itu guru kehilangan haknya yang paling urgent. Parahnya, sejak pertama kali diterapkan (2003) Indikator kelulusan dalam Ujian Nasional juga terus meningkat tanpa memperdulikan hasil UN tahun sebelumnya sebagai cerminan untuk menentukan indikator kelulusan pelaksanaan evaluasi yang akan datang.

Intinya, Sistem pendidikan kita sejak dahulu belum memberikan sebuah jawaban ataupun soslusi yang solutif terhadap segala permasalah bangsa yang kian membuat bangsa ini terpuruk, khususnya di bidang pendidikan. Keadilan sosial (memandang semua lapisan masyarakat memiliki hak yang sama dalam hal menerima pendidikan), Pemicu bagi Masyarakat akan pentingnya pendidikan, dan hakikat eksistensi pendidikan untuk menjagaharmonisasi kehidupan, dan menjadi pemersatu bagi masyarakat melalui pembentukakn identitas yang berujung pembentukan karakter bangsa belum bisa bisa terwujud dengan pendidikan. Adakah solusi dari permasalahan ini? Atau pernahkan ada suatu system yang benar-benar dapat mewujudkan itu semua?

Kembali ke SI Semarang Onderwijs

Jauh-jauh hari sebelum hari ini, Pernah diadakan sebuah Konferensi Sarikat Islam yang membahas tentang arah pendidikan nasional di kota Semarang yaitu pada tahun 1921. Dalam Merintis pendidikan untuk rakyat miskin pada zaman penjajahan belanda itu, tujuan utamanya adalah usaha besar dan berat mencapai kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka. Berkeyakinan bahwa “Kemerdekaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan menghadapi kekuasaan kaum modal yang berdiri atas didikan yang berdasarkan kemodalan.

Sekilas, SI Semarang Onderwijs mungkin sangatlah tidak singkron jika dikaitkan dengan pendidikan kekinian dimana bangsa Indonesia sudah merdeka, tapi dengan mengkaji lebih dalam mungkin kita akan menarik sebuah benang merah untuk menjawab persoalan pendidikan bangsa ini. Memasuki Isi karya pendek Tan Malaka ini, Beliau mengemukakan tiga tujuan pendidikan yaitu:

1.Pendidikan Keterampilan/ Ilmu pengetahuan seperti : berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dan sebagainya. Sebagai Bekal nanti dalam menghadapi kehidupan di dunia Kemodalan

2.Pendidikan Bergaul/ Berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri dan cinta pada rakyat miskin.

3.Pendidikan Untuk selalu berorientasi kebawah.

Ketiga Tujuan itu dirintis oleh Tan Malaka Bersama pimpinan rakyat lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah, Pesantren-pesantren NU, SI dan lain sebagainya. Pada akhirnya, Tujuan pendidikan kerakyatan tersebut dikaitkan dengan tiga slogan untuk pencapaiannya yaitu : Mempertajam Pikiran, Memperkokoh Kehendak dan Memperhalus Perasaan.

Pada dasarnya, SI Semarang Onderwijs merupakan ringkasan sebuah kata sambutan Tan Malaka dalam Vergadering Sarikat Islam di Semarang untuk membahas arah Pendidikan Nasional. Buku ini merupakan sebuah Triler dari sebuah konsep yang sedang dirancang untuk menuntun arah pendidikan nasional sebagai sesuatu yang harus di terapkan sebagai unpaya persiapan kemerdekaan dan harus pula diterapkan pasca kemerdekaan. Namun, tentunya isi yang belum sempurna ini cukup memberikan gambaran konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Tan Malaka dan Forum Vergadering SI di kota Semarang tersebut Untuk Indonesia. Dari Ketiga Tujuan Mulia pendidikan SI Semarang Onderwijs kita melihat sebuah konsistensi untuk tetap berada pada acuan Tujuan Pendidikan Secara filosofis. Selain itu model ini juga mengajarka akan hubungan perkawanan, organisasi dan interaksi sesama manusia dan juga kepedulian terhadap kaum-kaum miskin dan proletar. Jika kita tarik sebuah kasus dengan yang terjadi sekarang, tentunya sangat relevan karena memamng sistem pendidikan kita sekarang ternyata lebih mementingkan kaum-kaum pemodal, anti kemiskinan(dalam artian menjauhi orang-orang miskin) dan juga seakan menumbuhkan sikap apatis terhadap permasalahn bangsa yang hanya bisa diselesaikan dengan cara berhimpun dan bergaul.

Dalam SI Semarang Onderwijs di tuliskan langkah-langkah yang perlu dilakukan yaitu, pertama, Memberikan senjata yang cukup, buat mencari penghidupan dalam dunia kemodalan. Tentunya ini sangat tepat sasaran karena pendidikan benar-benar menjadi solusi bagi permasalahan yang akan dihadapi kedepan, jika kita bandingkan dan mencoba mmenarik relevansi pendidikan sekarang, apakah yang kita temukan?, tentunya semua hanyalah sesuatu yang sulit untuk dimengerti karena pendidikan sekarang dapat dikatakan sebagai ladang untuk mencari uang dan lahan bisnis. Hal ini kemudian memicu munculnya mafia-mafia pendidikan (katakanlah bimbingan-bimbingan belajar) yang hadir dengan tawaran jasa pengajaran dengan tarif yang tak sesuai dan terbilang sangat mahal. Dan ternyata hal tersebut sangat didukung oleh pemerintah (yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan masyarakat) dengan mengesahkan model-model evaluasi ataupun seleksi yang mengharuskan anak-anak untuk melakukan penambahan waktu belajar di tempat bimbingan dan membayar mahal. Kedua,Memberikan haknya murid-murid, yaitu kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan. Pada hakikatnya, berkumpul merupakan sesuatu yang paling disenangi bagi anak-anak, dimana mereka bisa mengkonsep sebuah jenis permainan bersama dan memainkannya bersama pula. Sebuah permainan tentu tidak semata sebagai sebuah pelarian untuk menghindar dari kepenatan menghadapi waktu belajar yang sangat panjang, namun dengan permainan secara tidak langsung dapat membentuk jiwa-jiwa kepemimpinan dalam diri anak dan juga keluwesan dalam berinteraksi dalam laboratorium sosial yang luas ini. Pendidikan sekarang sudah sangat meninggalkan sesuatu yang sebenarnya menjadi hak bagi anak dalam masa pendidikannya karena permainan dan berorganisasi juga merupakan sebuah bentuk pembelajaran, pendidikan sekarang terkesan mamaksa anak-anak untuk belajar keras dan cenderung mencetak pribadi-pribadi anak menjadi sosok individualis, hal ini semakin dapat terlihat jelas di kehidupan di perguruan Tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Ketiga,Menuju Kewajiban Kelak, terhadap pada berjuta-juta kaum Kromo. Hal ini merupakan suatu yang sangat mudah di ucapkan, tapi mungkin akan sangat sulit dalam pelaksanaannya karena kita akan mengajarkan anak-anak yang tentunya belum menghasilkan uang dari hasil keringatnya namun paling tidak kita mampu memberikan sebuah Triger untuk tetap menonjolkan sisi kemanusian anak untuk tetap bisa berbagi dan memiliki rasa tanggung jawab ketika berada di tengah-tengah orang miskin. Hal ini tentunya juga mendukung salah satu perintah agama (islam) untuk tetap berbagi rezeki karena dalam setiap rezeki kita terdapat pula hak-hak kaum kromo (zakat). Ini sangat penting untuk kembali diterapkan dalam pendidikan sekarang dimana sikap apatis Pelajar dan Mahasiswa terhadap permasalah-permasalah social. Ini wajar terjadi karena memang tak banyak yang mampu bertahan dan tetap menjaga martabatnya di tengah guncangan gelombang sekulerisme dan matrelialisme, sementara tawaran yang datang kian menggiurkan.

Sekilas kita bahas, SI semarang onderwijs tidak menjelaskan masalah sistem yang mengatur sistem pendidikan, seperti halnya Kurikulum, model evaluasi dan lain sebagainya, namun jika dikaji secara mendalam SI Semarang Onderwijs sebenarnya cukup memberikan gambaran bahwa pelaksanaan pendidikan bukalah mengacu pada sebuah kurikulum ataupun model evaluasi, tapi lebih kepada sejauh apa pendidikan itu dapat berfungsi sesuai koridornya dan sesuai dengan falsafah yang dianutnya. Bukan berarti tiadanya pembahasan masalah sistem yang lebih lengkap membahas supervisi pendidikan mejadikan SI Semarang Onderwijs tak layak untuk diperbincangkan, tetapi harusnya Ia dijadikan sebagai sebuah Acuan untuk menentukan arah pendidikan setelah dimodifikasi dan dilengkapi dengan tambahan-tambahan yang mungkin di anggap penting tanpa meninggalkan esensi dari pendidikan itu sendiri.

Permasalahan Pendidikan Mungkin merupakan salah satu objek bahasan yang sampai kapanpun akan tetap menjadi bahan pembicaraan, Semakin Banyaknya pakar atau ahli yang kian hadir ketengah-tengahnya justru menambah banyaknya persoalan, kita tidak tahu apa sebabnya tapi mungkin itu ada kaitannya dengan bidang Pendidikan yang merupkan Sektor publik yang paling laris, di tambah lagi dengan alokasi pembiayaan APBN yang sangat besar, mau tidak mau, ini mendukung munculnya kecemburuan sektor lain terhadap Sektor pendidikan sehingga orang-orang menganggap dirinya juga harus berkecimpung untuk ikut mengelola pendidikan.

“Segala Sesuatu yang Hidup pada hakikatnya akan mati kecuali mereka-mereka yang berilmu, karena ilmu akan tetap diperbincangkan untuk dikaji. Mereka-mereka yang berilmu umumnya sesat kecuali mereka yang beramal, dan mereka-mereka yang beramal akan bingung, kecuali yang Ikhlas ”.(KH. Ahmad Dahlan).

Dikutip dari bahan diskusi “pemberantasan korupsii pendidikan dimulai dari sekarang” bersama serikat guru kota medan, pada tanggal 27 April 2013.

Lihat alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar1945.

Lihat Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3.

Lihat Kata Pengantar Penulis “SI Semarang Onderwijs, Tan Malaka (1921).

Pada kenyataannya sekarang, di Perguruan Tinggi, Mahasiswa seakan dilarang untuk bersuran dan menyampaikan pendapat dengan berbagai abncaman yang dilontarkan. Anehnya, ketertiban lah yang selalu dijadikan alibi untuk menutupi kejahatan itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun