Mohon tunggu...
Pendi Susanto
Pendi Susanto Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Penulis Buku, Pegiat Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Moralitas Sepak Bola

12 Desember 2023   12:33 Diperbarui: 12 Desember 2023   12:33 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak ditemukan pada abad ke-2 SM, pada masa Dinasti Han Tiongkok, sepak bola banyak mengandung nilai moral karena mengajarkan prinsip kehidupan, kejujuran, kerja sama, dan permainan yang menyenangkan. Sepak bola tidak mengajarkan kebrutalan, kekerasan, atau bahkan hilangnya nyawa.

Sepak bola lebih dari sekedar seni menembak bola di lapangan. Bagi sebagian orang, sepak bola telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Bintang Brasil Ronaldinho pernah berkata, "I learned all about life with a ball at my feet.".  Demikian pula, Cristiano Ronaldo berkata, ``Saya belajar segalanya tentang kehidupan dari bola di kaki saya." Seperti Maradona yang terlahir sebagai anak miskin di daerah kumuh, Bill Shankly juga beruntung. Baginya, sepak bola adalah jalan yang mengubah hidupnya. Bagi legenda Liverpool ini, sepak bola jauh lebih penting daripada kehidupan, "Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more serious than that." Sepak bola juga terkait dengan kehidupan bersama. Menurut Abby Wambach, "Saya tidak pernah mencetak gol dalam hidup saya tanpa mendapat umpan dari orang lain." Sepak bola adalah tentang mengalahkan egoisme. Aturan emas sepak bola, ujar Bob Burns, "berikan kepada orang lain seperti kamu ingin mereka memberikannya kepadamu." Sepak bola dan semua cabang olahraga, tidak sekadar untuk mendapat piala, meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara, atau mengejar kepuasan semu untuk membesarkan ego diri yang tidak ingin disaingi.

Sepak bola, dan semua olahraga lainnya, bukan hanya tentang meraih trofi, menang dengan segala cara, atau mencari kepuasan palsu untuk membesarkan diri. Ego yang tidak mau bersaing. Olahraga seharusnya menjadi salah satu cara untuk mengatasi keinginan negatif dalam diri. Nabi SAW bersabda, "Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam peperangan, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan diri ketika marah."

Pada mulanya, olahraga mempraktikkan moralitas tertinggi sebagai manusia.  Hal ini antara lain dikemukakan dalam puisi penyair Yunani Homer dan Virgil. Abad ke-8 SM Pada abad ke-4 SM, Homer menggambarkan  masyarakat yang digerakkan oleh idealisme heroik dan semangat kompetitif yang kemudian ditransfer ke prestasi  olahraga. Festival Yunani awalnya merupakan ritual untuk menghormati dewa dan dewi di pemakaman para pahlawan. Seperti yang dijelaskan oleh Homer dalam Iliad (salah satu karya sastra Yunani tertua yang masih ada), di pemakaman Patroclus, para pejuang terhormat, termasuk rekan Achilles, meletakkan senjata mereka.

Mereka kemudian mengikuti kompetisi olah raga seperti pertandingan tinju, pertandingan gulat, lempar lembing, dan balap kereta untuk unjuk kebolehan. Festival serupa dirayakan di seluruh Yunani untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melupakan pertempuran dan kekerasan yang tiada akhir.

Dengan demikian, mereka berhasil mentransformasikan semangat kompetitif dan argumentatif yang diwarisi secara turun temurun menjadi prestasi yang damai dan jujur melalui kompetisi olahraga. Sekali lagi, olahraga pada awalnya merupakan sarana positif untuk mengalihkan energi dari kekerasan dan perang.

Sejarah mencatat bahwa sepak bola, olahraga paling populer, mengalami salah satu tragedi paling memilukan di dunia pada abad ke-21.  Nama Kanjurhan akan dikenang oleh milyaran orang yang memiliki kenangan buruk. Pada 1 Oktober 2022, hari tergelap dalam sejarah sepak bola terjadi di Stadion Canjurhan Malang usai laga Ligue 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya. Berdasarkan catatan, 135 orang kehilangan nyawa. Dalam puisi  Kiai Kanjen "Di Mana Anak-Anak" dari album Khad Muhammad, terdapat kutipan puisi: "Kematian adalah sebuah tragedi kecuali jika Anda mencuri hak Tuhan untuk mengambil keputusan. Kalimat ini jelas. Suatu ekspresi kelalaian manusia yang merampas hak Tuhan dalam menentukan kematian.

Hingga saat ini, belum ada upaya serius yang dilakukan untuk menyelesaikan kasus ini dengan penuh keadilan. Insiden Kanjurhan menambah daftar panjang permasalahan sepak bola Indonesia.  Dibalik hal tersebut adalah kekerasan antar pemain, bentrokan antar suporter, fanatisme ekstrim, politisasi sepak bola di kalangan elit, manajemen yang tidak profesional, penyuapan terhadap wasit pertandingan, dan berbagai kejadian yang melibatkan mafia sepak bola.

Meski dunia sepak bola telah mengalami beberapa kejadian yang memilukan, namun tidak pernah kehilangan pamornya, dan tidak pernah terpuruk dalam kepribadian dan semangatnya. Ini sangat populer di segala situasi. Ada banyak aspek yang perlu dibenahi. Tentu saja, di lapangan, nilai-nilai luhur permainan menjadi penting. Di luar lapangan, fans mendukung tim favoritnya dengan kesatria dan kedewasaan.

Dalam sepak bola, kemenangan dan kekalahan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Kemenangan dan kekalahan harus diterima sebagai hasil permainan. Naik turunnya adalah bagian dari perjalanan sebuah tim sepak bola. Fanatisme berlebihan yang berujung permusuhan tidak sejalan dengan semangat sepak bola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun