Saat ini kita dihadapkan pada arus kapitalisasi yang begitu kuat terhadap puasa. Sekedar contoh : kenapa bisa ada kuis di televisi yang tidak cerdas, babar blas penonton ditanya ayat suci yang berisi perintah puasa. Yang bisa menjawab diberi hadiah uang dan tepuk tangan. Lalu ditanya apa saja yang membatalkan puasa, dan seterusnya. Esensi puasa itu tidak ada, meski yang seperti itu ada, Mereka menjadikan agama semacam simbol bagi pesta dan pesta sekuler. Iklan sirup, sarung dan kecap merupakan sarana untuk mengabarkan produk-produk tersebut dan mencegah atau bahkan mengaburkan pesan-pesan hakiki puasa. Budaya pop dan masyarakat industri kita adalah aspek buatan dari puasa. Dan orang biasanya menyukai gejala seperti itu. Jadi resikonya puasa terasa biasa saja.
Pada masa sebelum pandemi, minggu pertama bulan puasa, jamaah mall dan jamaah toko, alat yang memajang makanan lebaran yang enak, sudah lebih ramai dari jemaah tarawih, lebih sibuk setiap hari.
Pada minggu terakhir bulan puasa, masyarakat tarawih makin maju shafnya yang artinya semakin sedikit orang, sedangkan tempat parkir di mall dan pertokoan serta pasar dekat demonstatif jualan lebaran semakin ramai.
Di bulan Ramadhan, banyak orang yang mengembangkan gambaran betapa asyiknya suasana setelah puasa, pesta, piknik, nonton film dan memuaskan selera dengan mengunjungi tempat-tempat kuliner yang sedang ramai dengan makanan atau food culture yang enak. suasana unik di sana. Sungguh "mengerikan" bahkan di tengah hari, saat yang terbaik adalah menahan lapar dan mengembangkan gagasan tentang perlunya tindakan kemanusiaan untuk membantu orang miskin, yang masih pusing dengan hal-hal yang diperlukan untuk berbuka puasa. dilakukan, adalah. tidak ada air, anak-anak terbiasa menimbun atau mengumpulkan makanan atau jajanan yang enak untuk disantap saat berbuka puasa. Ketika Anda berpuasa, ingatlah untuk makan. Lalu di waktu lain mencari peluang untuk menambah stok dana Lebaran dengan menekuni atau melakukan ‘tadarus kuis’ di malam hari.
Tentunya masih banyak yang menjalani puasa ramadhan mempelajari kandungan ibadah ini. Mereka masih sibuk berbagi takjil atau setidaknya mendengarkan pengajian dalam pertemuan takjil sekaligus belajar Al Quran dan selama sepuluh hari mereka tinggal di masjid di Itikaf melakukan muhasaba sendiri menunggu bertemu Lailatul Qadar. Ternyata di ruang tikaf ini pun kadang muncul godaan, itu kalau ada. Takmir menghormati majelis i'tikaf menawarkan layanan makanan lezat seperti gula. Lalu ada gurauan yang ditemukan masyarakat disana yaitu malam gulai atau malam brongkos yang bisa melupakan malam keagungan.
Lantas jika demikian, bagaimana kita mencari cara untuk menghidupkan kembali subatansi puasa Ramadhan?
Pada masa Nabi Muhammad dan para sahabatnya, romansa keagamaan terjalin, menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan yang dramatis untuk membawa perubahan spiritual dan mencapai mobilitas spiritual vertikal. Diketahui, ada cerita tentang bagaimana bulan Ramadhan kemudian diimajinasikan sebagai kekasih yang dirindukan dan hari-hari sebelum berpisah dengan kekasih tersebut.
Menyambut datangnya Ramadhan dengan penuh harapan, kegembiraan dan memasuki bulan Ramadhan dengan penuh kebahagiaan dan menangis sedih saat-saat bulan Ramadhan menjauh dan berpisah dengan mereka dan harus memasuki bulan Syawal.
Apakah kita masih memiliki kapasitas atau kemampuan untuk membangun romantisme yang positif dalam agama seperti ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H