Mohon tunggu...
Pendeta Sederhana
Pendeta Sederhana Mohon Tunggu... lainnya -

Sederhana itu adalah sikap hati. Hati adalah kita yang sesungguhnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Tjip, Kapan Berhenti Menulis?

19 Mei 2016   15:08 Diperbarui: 19 Mei 2016   17:58 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Tjitadinata, Kompasiana

Tidak ada yang tahu kapan Pak Tjiptadinata akan berhenti menulis. Hanya Tuhan yang tahu, bahkan beliau sendiri juga tidak tahu kapan. Boleh saja beliau mengatakan tahun depan. Akan tetapi, tidak ada yang tahu dengan pasti, apakah tahun depan beliau benar-benar berhenti menulis, atau malah tambah " keranjingan".

Saya baru mengenal Pak Tjip di Kompasiana, kebetulan saya juga belum terlalu lama aktif, jadi tulisan beliau hanya beberapa yang sudah saya baca. Tetapi percayalah! Saya tidak iri hati dengan beliau hingga saya menanyakan kapan beliau akan berhenti menulis. Ada beberapa hal yang saya perhatikan dari Pak Tjip: Bergabung 43 bulan yang lalu dengan artikel rata rata 10 per minggu. Dibaca lebih dari 1000 orang per artikelnya, 4 dari 5 artikel beliau masuk kategori pilihan, bahkan 390 diantaranya menjadi headline di kompasiana.

Oh ya, artikelnya selalu diberi judul aktual, artinya jauh dari kategori manipulatif, bombastis, apalagi hoax. Antara judul dengan isi selalu seiring dan seirama, sehingga pembaca tidak merasa terkecoh dan dikibuli. Dari hal ini setidaknya bisa disimpulkan, bahwa beliau memang apa adanya, bukan ada apanya. Tulisannya tidak dimaksudkan untuk mengejar rating, terlihat dari konsistensi beliau dalam menulis tema-tema sederhana, aktual, dan bermanfaat bagi mereka yang membacanya. Dibaca sedikit atau banyak orang tidaklah terlalu penting baginya, terlihat dari kesinambungan beliau dalam menayangkan artikelnya.

Maksud tulisannya jelas, sederhana, tidak perlu tafsir rumit untuk bisa dipahami. Jauh dari plintiran yang sengaja dibuat guna menggiring pembaca kepada suatu opini yang secara nyata maupun terselubung ikut menumpang, sebagaimana dilakukan oleh para penulis bayaran yang berprinsip serupa dengan pengamat politik dengan menjual kicauannya demi fulus dan perhatian. 

Apa sebenarnya yang anda cari Pak Tjip?

Tentu hanya beliau yang tahu dengan pasti, namun bisa saja beliau juga tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari dengan menulis. Mungkin saja beliau ingin menggoreskan lika-liku perjalanan hidupnya. Bisa saja beliau ingin menumpahkan apa yang ada di pikirannya dan mencoba menarik data yang pernah tersimpan di memorinya. Atau bisa juga dia menulis untuk mengatakan sesuatu, kepada seseorang, banyak orang, tentang apa yang dipikirkannya, apa yang diinginkannya dan apa yang tidak diinginkannya. Tentu tetap kembali ke beliau, sebab hanya dia lah yang tahu dengan pasti.

Namun tentu, tidak salah jika saya hendak mencoba mengutarakan apa yang saya pikirkan tentang Pak Tjip, seorang lelaki tua dan artikelnya tentunya. Menjelang usianya yang ke 73, semangat menulisnya tetap  tidak surut. Pastilah ada sesuatu hal yang mendorong atau energi yang membuatnya tetap semangat untuk menulis.  Energi ini tentu ada pemicunya, sehingga beliau tetap memiliki sangat cukup daya atau kekuatan untuk menolak berhenti atau tidak lagi menulis.

Inilah yang sedang saya cari dan sekaligus menjawab pertanyaan saya sebelumnya.

Tentu bukan uang yang menjadi tujuan beliau sehingga ia terus menulis. Setahu saya juga tidak ada bayaran jika tulisan kita ditayangkan di Kompasiana. Sekalipun menjadi headline, terpopuler, tren di google, gress, atau tertinggi dalam penilaian. Entahlah kalau Kompasiana kelak berubah pikiran. Dan ini juga tentulah hanya Tuhan yang tahu. 

Dan jikalaupun menulis itu segalanya tentang uang, memang seberapa banyak uang yang bisa didapat dari menulis? Apalagi ke depan, dengan semakin terbukanya banyak hal, apalagi yang bisa diharapkan dari menulis? Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mustahil mendapatkan  uang dengan menulis. Akan tetapi saya menyikapinya dengan realistis. Bahwa ada satu, dua, atau bebebrapa orang yang bernasib baik dan beruntung dari tulisan, tentu hal itu bisa saja. Akan tetapi kemungkinan seperti itu untuk setiap orang tentu tidak perlu lagi saya jelaskan.

Kalau dibilang mau cari tenar, saya pikir tidak juga. Untuk apa dia tenar? Kecuali kepercayaan beliau mengharuskan ketenaran menjadi syarat untuk mendapatkan satu tempat di kehidupan yang akan datang. Dan juga kita bisa melihat bahwa tulisannya bukanlah menyangkut isu-isu spektakuler, revolusioner dan kontroversial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun