Â
Ahmad ya habibi habibi, habibi salam habibi
Salam 'alaika habibi
Ya aunal ghoribi salam 'alaika
Amnun wa salaamun salam 'alaika
Dinukal islaamu salam 'alaika
Alhamdulillah, udah hampir setengah kita berpuasa di bulan Ramadan. Semoga senantiasa sehat selalu hingga bisa menjalankan ibadah di setengahnya lagi. Kekuatan dan kesabaran tinggi senantiasa membersamai untuk menggapai hari kemenangan yang hakiki.
Seperti biasa aku akan bercerita untuk membunuh waktu setiap detik yang berdetak seraya berzikir mengagungkan asma-Nya. Cerita yang setia menemani malam panjang penuh perjuangan. Cerita Tarawih.
Hari ini cukup konsisten, tidak tahu besok masih sempat juga atau justru telat tayang.
Oke sebelum masuk lebih lanjut, aku cerita dulu sebelumnya. Sebenarnya kemarin malam, aku udah pergi ke Pentadio di rumah opa. Terus tiba tiba pengen aja gitu puasa di pondok lagi, tapi kupikir lagi angkatan sisa yang kukenal di sana tersisa dua. Selebihnya udah lulus dan sedikitnya mengabdi. Sebutlah namanya Rya, dia tiga tahun di bawah dariku, setengah tahunnya udah sempat mengabdi lantas dilanjutkan dengan jaga lapak di tempatnya umi. Jadilah aku di sini sekarang dari sore.
Tiba magrib waktu berbuka, menyempatkan ke masjid di seberang, yang di pinggir jalan depan masjid ada ikonik patung berdoa zaman tahun pak Pakaya memimpin. Lantas sholat magrib sama shalat Tarawih di masjid yang namanya masjid Al-Mukarram. Bilal sama imamnya aku kurang tahu siapa, karena aku bukan warga sini. Shalat Tarawih di situ 20 rakaat, tapi aku hanya sholat 8 rakaat saja, lantas pulang ke lapak, lanjut witir.
Kok ada ya masjid yang lumayan besar kelihatannya jamaahnya hanya dua shaf. Ini yang perjuangin dulu bangun masjidnya siapa sih, kok aku kasihan ya. Sudah sebesar ini dalamnya, banyak kipas anginnya, ehh jamaahnya hanya dua shaf laki-laki sama perempuannya, mana tidak penuh semua. Ke mana coba umat Muslim lainnya.
Ada yang menarik deh, kan sajadahku yang setia menemani itu sejadah old hijau, malah jumpa sama kembarannya dia di sini. Punyaku masih lebih bagus ternyata. Punya orang di depanku udah agak luntur warnanya. Terus itu anak kecilnya jadi heran kok bisa sama ya sejadahnya, yang ada di kepalanya mungkin, 'ke mana aja selama ini, kok nanti ini kita ketemu'. Gila kocak. Ini si Kendi, bocah yang sempat pondok dulunya, warga sini pada halangan sih jadi ga bisa kenalan sama itu remaja remaja ciwi ciwi yang dari tadi udah penasaran samaku, dilihatin mulu soalnya.
Sekian segitu dulu ceritanya, semoga pembaca budiman tidak bosan membaca ceritaku ini. Terima kasih untuk kalian, dan terima kasih juga untuk orang yang dari tadi bersamaku, Rya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H