Semenjak kita melahirkan seorang bayi, maka di situ label "Ibu" melekat pada diri kita para perempuan, tidak peduli usia kita masih belasan, awal dua puluh atau bahkan di akhir 30-an, orang-orang akan memanggil kita Ibu.
Sebelum menjadi Ibu saya berpikir "Bahwasannya menjadi ibu adalah hal yang mengerikan" betapa tidak? Saya harus hamil selama sembilan bulan, kegiatan saya jadi terbatas di saat mabok, dan juga di saat usia kandungan di tri semester tiga. Plus saat harus melahirkannya, itu sebuah taruhan nyawa! Belum lagi, saat ditanya sesar atau normal? saat harus memilih, merawat anak sendiri atau menitipkannya karena kita harus melanjutkan karir? Asi, perah atau formula? Tidak berhenti di situ, saat usia dua tahun mulai lagi tantanganya; Paud atau tidak? TK internasional, TK Agama atau TK biasa? Homeschooling atau sekolah formal? Ya, Tuhan....pilihan-pilihan itu sangatlah mengintimidasi. Kenapa? Karena dari situ timbulah KOMPETISI.
KOMPETISI? Yes! Di saat menjadi Ibu kita dihadapkan pada persaingan yang mencekam antara Ibu bahkan yang tidak saling kenal.
Mereka yang mampu melahirkan normal merasa sudah menjadi Ibu yang sebenarnya karena merasakan mules, sakit saat mengejan. Lantas yang sesar? Dan sebaliknya yang Sesar pun akan mengklaim bahwasannya yang mereka rasakan lebih dahsyat karena sakit usia operasi itu sampai tahunan.
Selesai perdebatan masalah melahirkan? Belum! Sudah ada lagi perdebatan, betapa hebatnya mereka yang dapat memberikan ASI Exclusive dan yang hanya memberikan formula ini kurang usaha.
Kalau saya uraikan, bisa panjang banget ini perdebatan-perdebatan yang muncul di kalangan para Ibu. Tidakkah kita bisa STOP di sini? Karena, semua ibu yang sudah menjaga, merawat, membesarkan, mendidik anak-anaknya dengan apapun cara mereka ini sangat amazing! Kenapa? Karena mereka sudah membua keputusan-keputusan yang saya yakin tidaklah mudah! Banyak pertimbangan dan pengorbanan. Kita hargai usaha dan pengorbanan mereka.
Kalau hanya demi "VALIDASI" Yuk, kita stop di sini kompetisi dan perdebatan ini. Kita saling dukung dan kalau bisa kita saling memberikan support dengan sharing teknik, strategi yang membantu satu sama lain. Bukankah sangat indah jika kita dapat bersinergi dalam membesarkan, mendidik anak-anak kita yang merupakan generasi penerus bangsa ini?.
Saya memiliki pengalaman pribadi yang sampai sekarang membawah trauma karena perdebatan para ibu ini. Yaitu mengenai pemberian ASI. Saat itu, saya dan suami memang masih minim pengetahuan plus kami sepertinya memilih Rumah Sakit yang salah sehingga, saya tidak berhasil memberikan ASI pada bayi saya. Hanya pada usia 3 bulan dan itu pun dengan perjuangan yang sampai membuat saya hampir mati karena over dosis meminum suplement untuk pelancar ASI. Makanan pun segala jenis makanan pelancar ASI tidak kurang.
Namun, ada faktor psikologi yang saat itu kami tidak sadari sehingga ASI saya tidak bisa keluar. Nah, dari situ saya mendapatkan komentar bagaimana saya kurang usaha, saya ga mau menderita demi anak sampai gagal memberikan ASI. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya? Saya hancur! Bahkan sampai sekarang kalau melihat dia yang sudah hampir lima tahun dan teringat perihal ASI hati saya langsung sakit, dada sesak rasanya, mau menangis. Ini yang membuat saya takut hamil  lagi meskipun sebenarnya sudah ingin sekali memiliki anak lagi.Â
Tidakkah kita pernah berpikir ada berapa perempuan yang kira-kira mengalami hal yang saya seperti saya? Bukan hanya perihal ASI tapi pada masalah lain yang selalu bisa saja diperdebatkan. Karena perdebatan yang lebih pada perlombaan menjadi Ibu yang terbaik, Ibu dengan anak terpintar, dan ter-ter lainnya ini akan dapat menimbulkan rasa rendah diri dan tidak lebih baik daripada ibu-ibu yang lain jika tidak dapat melakukan  hal yang sama.