Tahun 2012 saat itu adalah masa-masa di mana saya sangat produktif. Saya bekerja dan bekerja, dengan hasil yang semua di luar ekspektasi. Usaha memang tidak mengkhianati hasil.Â
Meskipun di usia muda yang menggebu-gebu itu saya bukannya berpikir untuk menabung dan investasi, tapi saya pakai untuk bersenang-senang. Tapi, siapa yang peduli?Â
Hanya Bunda saja yang senantiasa mengingatkan "menabunglah, kalau ada sakitnya itu ga bingung" kalau boss di kantor malah senang dan terus bilang mumpung masih muda puas-puasin sambil terus memuji kerja keras saya.
Rupanya kerja keras yang ada dalam diri saya ini menurun dari Bunda dan Papa. Jauh di rumah sana, meskipun saya selalu mengirimkan "uang jatah" mereka bekerja sangat keras, kadang tidur hanya 2 - 3 jam dalam sehari dalam mengerjakan pesanan kue. Bisnis kue basah itu untungnya besar cuma kerjaannya banyak, itu kata Bunda.
Pernah aku protes "Bunda ngapain sih kerja sampai segitunya"Â Ya, Bunda dan Papa ingin di masa tua tidak merepotkan anak-anak. Kalau kami meninggal kalian mau selametan pakai uang peninggalan kami. Masyaallah.....sampai sejauh itu mereka memikirkan kami.
Hingga suatu hari di pertengahan Juni ada pemuda Minang yang belum genap satu minggu PDKT nekad meminta saya pada orang tua, di situ saya mulai berpikir "menabung" pernikahan disetujui akan dilakukan pada awal Maret 2013 karena terbentur budaya orang Jawa. Kami habis berkabung, kakek meninggal belum lama. Harus ganti tahun katanya.
Tanggal pernikaham semakin dekat, masalah uang alhamdulillah tidak ada masalah. Untuk biaya sebagian saya dan sebagian orang tua yang ngotot bilang kalau ini kewajibam terakhir biayain anak.Â
Namun, ada hal yang mengkhawatirkan mendekati pernikahan kok kesehatan Bunda menurun. Bahkan pernah ditelpon tidak bisa, tidak karuan pikiran saya, ternyata pas lagi ke rumah Budhe buat diskusi tentang pernikahan, Bunda pingsan di sana. Saya menangis khawatir.Â
Semua keluarga mengingatkan untuk tidak usah khawatir, sampai pada suatu hari adik yang tinggal bersama saya ditelpon untuk pulang dengan alasan buat bantu-bantu persiapan pernikahan. Tidak ada curiga atau pertanda apa-apa saat itu karena selisih beberapa hari saya menyusul pulang.Â
Sampai di rumah, tidak ada siapa-siapa selain Papa dan Kakak yang sudah berumah tangga sendiri, tentu itu aneh. Kakak membawah saya ke Rumah Sakit, di sana saya temukan Bunda dengan banyak infus baru selesai melakukan operasi angkat rahim. Saya peluk dan ciumi Bunda, saya menangis tanpa suara sampai tidak sadarkan diri.
Ya Allah, dengan keadaan demikian Bunda masih meminta saya melangsungkan pernikahan. Dibantu oleh keluarga besar semua lancar. Dalam biaya pengobatan tak sedikit pun Bunda meminta bantuan kami, anak-anaknya atau bingung mencari pinjaman karena Bunda rajin menabung, tidak hanya uang tapi juga dalam bentuk emas.