Perjalanan spiritual paling esensial menurut saya adalah ketika kita dapat mengetahui arti bersyukur dengan adaptif. Tak ada yang salah dari sebuah hasrat. Semua orang berhak memiliki keinginan. Namun, terlalu muluk juga tak elok. Semua ada batas wajarnya sehingga tidak ada kata 'ah' ketika harapan itu tidak termakbul.
Kemudian rasa syukur yang luhur akan berdampak dengan kekuatan hati yang kukuh. Mau menerima kesalahan diri sendiri maupun orang lain, mampu mengendalikan ego, dan lebih gemar mengalah.
Memang sangat meletihkan jika harus dipaksakan untuk terus bersabar. Akan tetapi, itu menjadi jalan terbaik demi kemaslahatan. Seperti pepatah Jawa menuturkan "Wani ngalah, luhur wekasane". 'Berani mengalah demi kepentingan bersama adalah sikap yang luhur. Begitulah watak kesatria yang berjiwa besar dan lapang dada'.
Ketika rasa syukur dan kesabaran berpadu maka akan menciptakan keikhlasan. Sangat naif jika berbicara pada realita bahwa dalam beribadah tidak mengharapkan apapun. Tak apa, itu sudah menjadi kodrat manusia. Bagaimanapun, tetap saja tujuan utamanya adalah ridho Nya. Bersikap netral jika harapan itu tak terwujud dan selalu toleran.
Percaya bahwa hidup sudah dalam naungan Nya. Satu hal, saya hanya ingin berdiri sejajar dengan takdir yang Allah kehendaki. Jika kita mampu menggenggam erat ketiganya (syukur, sabar, dan ikhlas) maka akan membuat sesuatu yang dilematis berakhir menjadi manis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H