Ciri orang modern itu bahagia setengah mati akan produk modernitas. Layaknya si kucing kampung liar, kesana kemari mengais makanan sisa. Maka merintihlah dia karena makin susah saja sekarang buat cari makan. Rintihannya makin menjadi ketika rumah satu RT jangankan sisa daging 'selilit', duri atau tulangnya saja sama sekali tak dia temukan.
Tapi di lain kesempatan, si kucing tadi mengeong kegirangan saat mendadak diberi ikan segar oleh seorang pria. Tak jelas betul sosoknya gimana-gimana, pake baju apa, potongan rambutnya undercut atau dibiarkan gondrong. Sudahlah, Tak penting pria itu siapa. Yang penting adalah ikannya. Ikan messias-nya lapar, ada ikan, ada perut kenyang, wes lah pokoke 'Happy Is In The Air'.
Pun sama halnya seperti diri kami ini. Yang kau akui dan kau bangga-banggakan sebagai umatmu hai Muhammad, Rasulullah paling akhir. Kami berkata padamu, "Lihatlah kami ini ya nabi, kami hidup di zaman serba modern, segala materi bisa jadi messias kesusahan diri kami lebih dari sekedar ikan asin". Apa-apa bisa kami lakukan sangat mudah. Bahkan jauh lebih mudah daripada yang engkau lakukan di jamanmu. Semua berkat produk modernitas: Inovasi teknologi. Lalu, kami pun mulai memamerkan apa yang bisa kami lakukan sedang engkau tak bisa lakukan.
Kami ajak engkau ke depan garasi rumah kami. Di bola matamu terlihat pantulan bayangan diri kami yang sedang membuka Rolling door. "Hai nabi inilah mobil mobil kami," seloroh kami enteng. Dalam garasi luas itu kini berjejer tiga mobil. "alphard untuk kami, pajero untuk istri kami, serta yaris dan jazz untuk anak-anak,". Nabi pun terhenyak bingung dan bertanya "apa itu  mobil, apa itu nama-nama futuristik yang tadi kamu sebut?". Kami pun lanjut menceramahi nabi. "inilah mobil. sang messias kami akan jauhnya jarak dan lama tempuhnya suatu tempat". Kalau saja dulu saat momentum hijrah dari mekah ke madinah kau naik mobil ya nabi, tentu perjalanan 320 km mekah-madinah sampai dalam hitungan jam bukan hitungan hari. Tapi kau malah naik Quswah, ontamu yang jalannya lambat, dan panas menyapamu kala berjalan di gurun. Nabi yang ndeso itu tak banyak merespon. Pun tidak pula muncul satu kata pamungkas 'bidah' dari mulutnya. Bibirnya lalu menyungging senyum.
Sepeninggal dari garasi, selanjutnya kami mengajak sang anak yatim itu masuk tempat tinggal kami. Dalam iringan langkah, dering ponsel kami memburu minta diangkat. Ternyata ada pesan bbm dan whatsapp yang masuk. Mata nabi pun melongok, memperhatikan benda yang kami pegang. "ya rasul ini namanya smartphone. Messias kami untuk berkomunikasi. Bahkan cari sumber informasi, beli ini beli itu, bayar ini bayar itu bisa kami lakukan dengan ini," tukas kami.
Ceramah pun berlanjut. Andai saja ada benda ini di zaman mu, sungguh kau pasti terbantu dalam hal dakwah. Sahabat-sahabat mu bisa segera terhubung denganmu 24 jam. Yah, tanpa bertemu tatap muka. Pokoknya enak lah kanjeng nabi. Kalau ada wahyu datang dari al-muhaimin, engkau tinggal broadcast saja. Smartphone ini juga gantinya bawa Quran cetak. Cukup pasang aplikasi alquran, kami bisa membukanya dimanapun asal kami bawa ponsel ini. Praktis bukan? Saking praktisnya terkadang kami juga lupa menutup aplikasi Quran saat aplikasi perambah kami berselancar di situs triple x. Nabi yang agung itu kembali hanya senyum senyum saja. Tak ada sepatah kata pun menimpali omongan kami.
Perbincangan ujub berlanjut lagi. Kali ini diri kami mengajak Al Amin itu ke kamar kami. Kami siratkan tutup pintu lemari baju milik istri kami. Dan lusinan baju muslim si istri berkilauan. Penuh gaya, penuh detail, penuh warna, eye catching lah. "Kalau sekarang pakaian hijab sudah trendy ya nabi, tak seperti jaman mu yang gombrong-gombrong disana-sini. Ini salah satu messias para wanita kami untuk tetap tampil trendy dengan hijab," kata kami. Model hijab modern ini tidak hanya sebagai penolong untuk menutup aurat kami. Bahkan sekarang, pakaian ini ya rasul, sudah menjadi bahasa untuk bergaul. Hijab modern memiliki nilai plus plus.
Tak hanya syari tapi juga bisa jadi pusat perhatian dan ajang eksistensi. Tengoklah sekarang yang lagi in, perempuan berhijab melenggak-lenggok di catwalk. Tidak terima itu saja, bahkan sekarang ada kontes cari bakat wanita berhijab, girlband hijab, segala berbau hijab laku keras dalam putaran thawaf industri. Dan lagi-lagi, Muhammad tetap diam diiringi melempar senyuman. Sikap nya membuat diri kami kesal. Wong Diajak omong kog cuma drenges.
"Kanjeng Nabi, kog diam saja, apa engkau cemburu atau malah marah dengan semua nikmat modernitas yang di zamanmu tak satupun bisa engkau rasakan?", tanya kami memburu jawaban. "Semua yang kau sebut tadi bukan dan sungguh benar-benar bukan messiasmu. Tidak bisa memberikan syafaat padamu. Apa kau tidak tahu Sang Messias mu berada sangat dekat dengan dirimu?", tanya Nabi anggun itu.
"Kami haqqul yaqin, itulah messias kami ya rasul. Di zaman ini materi adalah messias. Tak punya materi sama saja tak bisa survive dalam hidup," tukas kami menimpalinya. Sang Nashiral Haqqi itu lekas-lekas menyanggah pendapat kami, "Umatku yang aku sayang, tahukah engkau siapa yang memberi ikan segar pada kucing kelaparan yang hampir mati tadi?"
Seketika desiran hati kami bergemuruh, begitu kencangnya hingga terkoneksi dengan ujung mata kami. Tak sadar, air mata berlian kami bercucuran, hidung kami sembab. Lutut kami bersimpuh lalu menangis kami sejadi-jadinya. Bergeser badan kami karena sesenggukan hingga jatuhlah kami dari ranjang empuk kami. Dan kami pun sadar bila baru saja kami terjaga dari mimpi.