Assalamualaikum, manusia-manusia yang berakreditasi B+,
Kenapa hanya B+? Kenapa tidak A? Nah, begini, penilaian ini hanya berlaku untuk manusia, dan akreditasi A hanya pantas untuk nabi, bukan untuk kita yang masih jauh dari kesempurnaan, hehe. Ini hanya candaan, kawan.
Mungkin sudah lama kalian tidak membaca artikel-artikel yang lucu dan brutal seperti ini. Mari kita mulai membaca dengan keyakinan dan hasrat masing-masing.
disini saya akan memulai dengan fenomena terbaru yang ramai dibicarakan di media sosial: "peringatan darurat" dengan ikon Garuda berlatar biru. Wah, ini sangat menakutkan, ya.
Menurut Inews.com, Peringatan Darurat Indonesia dengan ikon Garuda Biru adalah panggilan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga demokrasi dan keadilan di Indonesia.
Dari sumber ini, kita bisa memahami bahwa heboh di media sosial adalah ajakan untuk lebih sadar dan aktif dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia benar-benar memahami polemik politik yang sedang terjadi? Yah walaupun ada masalah di ruang  birokrasi, setidaknya kita harus memahami situasi yang ada.
Bagus jika masyarakat ikut serta dalam permasalahan politik, seperti mengkritik meskipun belum sepenuhnya memahami apa yang dikritik, atau tanpa memberikan solusi konkret. Haha, bercanda.
Menurut Mas Rocky Gerung, "Kritik itu tidak perlu solusi, solusi itu bonus karena kita sudah menggaji presiden, menteri, DPR, dan lainnya agar mereka mencari solusi." Mungkin masyarakat ingin mengikuti pandangan Rocky Gerung, tetapi SDM kita masih perlu berkembang.
Seharusnya, kita bisa mengambil langkah agar lebih maksimal dalam berpendapat. Misalnya, ketika menghadapi isu politik, penting untuk membaca beberapa sumber terpercaya agar kita benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi.Â
Dengan begitu, ketika mengkritik, kita memiliki dasar yang solid, bukan sekadar mencari bahan untuk upload di media sosial demi terlihat peduli dengan demokrasi. Lucunya, kita sering kali mengaku peduli dengan demokrasi, tetapi mengabaikan literasi. Akibatnya, kita hanya menjadi "tong kosong" yang berbunyi nyaring.