Saat melihat para pemimpin organisasi kampus, negara, provinsi, kabupaten/kota, betapa angkuhnya mereka merancang kebijakan untuk mencapai visi misi mereka dengan gemilang. Masyarakat diberi serangkaian kata-kata yang melampaui penyair-penyair legendaris, tergoda oleh belenggu retorika para pemimpin. Demokrasi dijadikan alat untuk mengamankan legitimasi pribadi para pemimpin.
Namun, setelah para pemimpin yang berjanji muluk terpilih, jiwa demokrasi tiba-tiba menghilang tanpa alasan yang jelas. Mereka membuat kebijakan seenaknya tanpa memperhatikan konsekuensi universal dari keputusan mereka. "AKU PEMIMPIN" tertanam dengan kokoh di lubuk hati mereka, sementara transparansi dan demokrasi hanya menjadi sandiwara.
Ketika kebijakan mereka dikritik, mereka mengadopsi sikap otoriter dan membalas dengan retorika kebijaksanaan yang hanya diterima oleh para pengikut mereka sendiri.
Pertanyaannya, mengapa harus berkampanye dengan gaya demokrasi jika pada akhirnya mereka berkuasa dengan cara otoriter? Apakah jiwa yang jujur otoriter tidak cukup untuk menjadi pemimpin? Mengapa mereka begitu ingin menjadi pemimpin? Apakah mereka hanya mencari pencitraan sebagai pemimpin semata? Mereka hanya menutupi kelemahan mereka dengan jubah kepemimpinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H