Saat saya berjalan menelusuri berbagai gang di ibu kota, saya menemukan seorang pria muda yang sibuk membaca buku dengan genre yang khas. Saya mendekatinya sambil mengeluarkan bungkusan rokok yang mengeluarkan asap berwarna-warni, yang biasa menarik perhatian para perokok. Dengan santai, saya bertanya, "Apakah pendirian idealismu membuatmu bersikeras seperti ini?"
Dia menjawab dengan senyum tipis, "Ya, kita hidup di zaman penuh dengan kemunafikan. Bawahan menjilat, atasan menindas. Bagi saya, hidup haruslah tentang mencari kebenaran."
Saya melanjutkan, "Tapi apakah hidup dalam sistem seperti itu tidak mengajarkan kita untuk menjadi lebih kritis dan mandiri?"
Dia menaikkan sedikit intonasinya, "Hidup dalam sistem seperti itu hanya akan menghukum siapa pun yang berpikir kritis. Kemandirian? Itu hanya ilusi yang diciptakan oleh para penguasa."
Saya menyalakan rokok dan menikmati isapannya sambil tersenyum. "Jadi, kamu sangat idealis dengan pandanganmu itu. Semoga kamu tidak tergoda dengan godaan di sekitarmu."
Dia tersenyum meremehkan, "Tidak ada yang bisa menggoda saya. Saya teguh pada prinsip hidup saya."
Dia kemudian meminta sebatang rokok dari saya yang manipulatif itu. Dengan santai, saya menjawab, "Saya juga memiliki sisi idealis saya sendiri. Saya bekerja keras untuk meraih rokok ini dan menikmatinya dengan tenang. Aku tidak akan membaginya, karena jika saya melakukannya, saya akan melanggar prinsipmu tentang kepemilikan bersama."
Dengan nada tajam, dia menyahut, "Sialan, sikapmu seperti penguasa yang suka menindas. Jika engkau tidak mau membagi sebatang rokok, bagaimana jika suatu hari engkau menjadi pemimpin? Apa yang akan kau berikan kepada rakyatmu?"
Dengan tenang, saya menjawab, "Jangan terus-menerus menyalahkan pemerintah. Introspeksi diri, apakah buku yang kamu baca benar-benar membuatmu bijak atau hanya membuatmu malas dengan topeng idealismemu?"