SUKA DIHARGAI TIDAK MAU MENGHARGAI
Oleh : Zulkarnain Nggiu
Terkadang tanpa kita sadari ada hal-hal yang kita lakukan menyakiti hati orang lain. Entah dari perkataan, perbuatan dll. Kita hidup dalam bersosial pasti tidak lepas dari kesalahan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dari komunikasi verbal maupun non-verbal. Akan tetapi dengan sifat egois yang ada dalam diri kita dengan seenaknya kita melakukan hal yang menurut kita itu menyenangkan akan tetapi orang lain tidak menganggap itu menyenangkan. Contohnya: ketika berbicara dengan orang sambil main handphone. Ini menurut kita menyenangkan akan tetapi lawan bicara kita merasa tidak dihargai karena kita tidak fokus dalam pembicaraan tersebut.
Siapa sih yang gak mau dihargai. Pasti setiap manusia membutuhkan sebuah pengakuan dari manusia yang lain dengan bentuk penghargaan terhadap dirinya dalam rana sosial. Kalau manusia gak butuh pengakuan mungkin sudah banyak yang hidup di hutan. Dengan dihargai manusia lain maka setiap apa yang kita lakukan pasti akan berjalan dengan asik dan santuy. Akan tetapi apakah kita sudah bisa menghargai orang lain?
Untuk melakukan tindakan yang menyakiti terhadap orang lain terkadang kita tidak memikirkan apa yang orang lain rasakan terhadap tindakan kita. Mungkin ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kita melihat kondisi orang yang lemah dengan seenaknya kita membuat suatu anggapan bahwa orang itu lemah. Pertanyaanya "apakah kita pernah rasa dengan apa yang dirasakan oleh orang yang kita anggap lemah?"
Hidup untuk peka terhadap orang lain agak susah dilakukan ketika kita tidak menghadirkan sebuah rasa. Disini mari kita sharing sedikit perihal rasa yang di tawarkan oleh budaya lokal kita yaitu "tepo seliro"
Tepo seliro
Kristina menjelaskan bahwa "tepo seliro" dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai "tenggang rasa". Namun. Tenggang rasa dalam masyarakat jawa ini lebih halus dan memuat nilai-nilai keluhuran lain. Menurut Kristina, "tepo seliro" perlu diinternalisasikan dalam diri setiap individu sebagai bentuk penghormatan terhadap orang lain khususnya generasi muda untuk menyaring pengaruh-pengaruh negatif dari adaya modernisasi di tengah arus digital.
"Tepo seliro" merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat jawa. Kearifan ini mengandung arti bahwasanya dalam menjalani kehidupan sehari-hari terutama dalam berkomunikasi harus memperhatikan perasaan orang yang diajak berkomunikasi. Seseorang harus memandang lawan bicaranya sebagai orang pantas untuk dihormati. Salah satu bentuk penghormatan terhadap orang lain adalah dengan memposisikan perkataan seseorang sebagai hal yang penting (Dikutip dari fishipol.uny.ac.id).
Dalam perihal berkomunikasi kita memposisikan orang lain pantas untuk dihormati. Disini menawarkan sebuah konsep dalam bersosial agar kita lebih simpati terhadap orang lain. Apalagi di era sekarang  dimana orang-orang lebih fokus terhadap alat elektronik ketimbang menghadirkan sebuah rasa untuk lebih harmoni dalam berkomunikasi.
Khususnya para generasi penerus bangsa terkadang lupa dengan budaya lokal untuk mengamalkannya. Mereka fokus pada budaya luar yang masuk dalam rana sosial. Tidak masalah ketika kita mengaplikasikan satu budaya luar bagi kehidupan kita. Akan tetapi ketika budaya luar hanya bisa merusak hubungan kita dalam bersosial akan lebih baik untuk di tinggalkan dan aplikasikan budaya lokal yang membuat hidup kita lebih damai untuk bersosial.
Tepo seliro adalah soal kepekaan. Kepekaan terhadap rang lain (sosial), lingkungan alam, spiritual dan juga kepekaan terhadap bangsa. Tepo seliro itu berkaitan dengan kerendahan hati. Kerendahan hati yang melahirkan simpati. Simpati sebagai sifat khas manusia, rasa sayang kepada manusia. Membuahkan empati, memposisikan diri pada posisi orang lain yang sedang kesusahan. Sehingga tepo seliro melahirkqan kemampuan untuk mengendalikan diri. Mengendalikan diri dari mengumbar nafsu kepentingan diri sendiri, mengendalikan diri dari sifat egoisme (Dikutip dari bpip.go.id).