Menjadi pengarang humor itu gampang-gampang susah, kalau stoknya habis ya harus dapat kulakan baru, apakah dari pembaca, dopok sersan (serius tapi santai) dan orang yang pandai humor biasanya orangnya tidak serius dalam bergaul, wajar mereka yang pandai humor temannya banyak.
Dosen kuliah s2 dulu kalau ngajar juga senang guyonan dan bercerita banyolan, terkadang kita kasih tematik baru, biar dosenpun dapat koleksi baru dan kita juga dapat koleksi barunya. Ngajar kuliah yang tanpa ada humornya bikin spaning pikiran dan belajar jadinya menjenuhkan, tapi saat dosennya pinter memberikan ilmunya dan diselingi dengan humor maka ilmu cepat masuk dan belajar tak terasa.
Bercerita humor juga bisa dilakukan sepanjang perjalanan keluar kota, kalau pandai berhumor maka satu mobilpun tidak ada yang mengantuk, bahkan tidak terasa, supirnya jadi rilex dan penumpangnya banyak koleksi yang masuk.
Contoh pak dhe rumono, semangat sekali kalau dalam perjalanan berhumor dia, Brebes ke semarang ditempuh dalam 1 jam 30 menit juga tidak terasa, dari cerita humor ala gusdur, santri, hingga lokalitas.Â
Humor bab Shof misalnya, pak dhe bercerita dengan tidak tertawa dulu, seolah-olah serius, diceritakan ada seorang ustad rambutnya itu ikal, tapi dia pengin rambutnya lurus, lalu ustad ini pergi ke salon, dan ustad tersebut bertanya :
Ustad : Assalamu'alaikum ya Ridwan (tukang cukur)
Ridwan : Waalaikumussalam ya Ustad.
Ustad : Rambutku yang ikal apa bisa diluruskan, ungkapnya.
Ridwan : Oh Rebonding namanya ustad, maksudnya di luruskan kan, tutur juru potong
Ustad : Khair ya ridwan, oh kalau diluruskan namanya Rebonding ya Mas Ridwan
Ridwan : Leres atau betul ya Ustad.