Pagi-pagi beli semanggen di pincuk di pasar Brebes. Pincuk pakai godong pisang lalu  dikasih cucus penutup lidi kelapa yang di sudah lancipi. Semanggen ini dari tanaman liar biasanya berada di sawah atau di kali. Bila dipetik lalu dicuci dan diolah dengan di rebus maka akan terasa saat masuk ke dalam mulut kita.
Mengutip dari faktanews.co, Daun semanggi adalah sekelompok jenis paku air atau Salviniales yang berasal dari marga Marsilea. Tumbuhan ini dapat dengan mudah ditemukan di daerah pematang sawah ataupun tepian saluran irigasi dan sungai.
Morfologi daun semanggi sangatlah khas, dilihat dari bentuknya saja sudah dapat dengan mudah dibedakan dengan tumbuhan lainnya. Bentuk daun semanggi yang khas ini menyerupai sebuah payung yang disusun dari empat anak daun yang saling berhadapan satu sama lain. Akibat bentuknya ini, nama semanggi digunakan untuk beberapa jenis tumbuhan dikotil yang saling bersusun menyerupai sebuah klover.
Kalau dari harga semanggen sebenarnya tidaklah mahal, namun tanaman ini sudah mulai langka, apalagi jika daerah tersebut mulai muncul kawasan industri maka mencari keong, kraca, siput, semanggen juga sangat sulit. Sekarang aja ikan gabus atau ikan tawar karena pengaruh pestisida akhirnya sudah mulai sedikit populasinya, dan tidak besar saat di temui, maklum mulai tidak nyaman untuk hidup.
Semanggen ada dua pesanan mau di pincuk atau di tempelang, kalau masih hangat maka enaknya bukan main, mantul atau mantap betul, apalagi disertai dengan kerupuk pasir semakin bikin rindu hidup di pedesaan, segala aneka makanan tempoe doloe masih ada dan bikin betah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H