Siapa yang akan memperjuangkan nasib para tukang becak di daerah jika tidak pemerintah daerah, mereka mengais hidupnya penuh kesabaran dan tak pilih kasih penumpang, jauh dekat akan diterima, tak pakai tarif jauh dekat, bermodal tenaga manusia, dan tidak ada layanan service berkala.Â
Suku cadang becak pun yang akan dipilih adalah yang bekas pakai, kalau baru sebagian tak mampu untuk membelinya, kecuali sudah sangat parah dan harus diganti, maka apa boleh buat, harus diganti dan dibeli.
Becak malam hari dengan pagi atau siang hari pastinya berbeda tarifnya, kalau malam hari mereka juga sangat rentan dengan hawa dingin dan masuk angin, namun demi anak istri mereka harus mencukupi keperluan sehari-hari.
Tukang becak bisa sholat dengan tekun, sungguh mulia, apalagi mau mengaji di majlis taklim, yang jelas rata-rata pendidikan mereka tidak tinggi, namun tuntutan hidup begitu beratnya dan penuh resiko.Â
Mereka tidak pernah protes hanya bisa mendengarkan isu-isu daerah, regional dan nasional lewat mulut ke mulut, mau internetan jelas tidak mampu membeli handphone, paling kalau ada papan informasi koran yang terpajang di fasilitas publik baru bisa membaca atau saat beli nasi pincukan maka ada koran sebagai pembungkusnya.
Media radio dan televisi sebagai modal informasi terkini, atau dapat info saat mangkal di lapak becaknya untuk menunggu penumpang, kadang satu jam tidak dapat penumpang, imbas kendaraan online sangatlah terasa betul apalagi dengan gencarnya teknologi digitalisasi.Â
Semoga nasib mereka tidak terpinggirkan, namun mereka perlu diberikan ketrampilan seperti menjadi tukang bangunan atau misalnya tukang las dan lain-lain, agar tidak hanya mengandalkan ayunan becak sebagai mata pencaharian utama.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI