Belajar ilmu administrasi publik secara virtual, sabtu (24/10/2020), bersama dengan para pakar Administrasi publik, Â Tema yang diangkat adalah Politik Administrasi Dalam Dinamika Relasi Pejabat Politik dan Birokrasi (Telaah Teori dan Praktik).
Opening Speech oleh Dr. Drs. Hardi Warsono, MTP Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNDIP, Narasumber Dr. Dwiyanto Indiahono, M.Si Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Jenderal Sudirman, dengan Moderator Dr. Retno Sunu Astuti, M.Si (Ketua Program Studi Doktor Administrasi Publik FISIP UNDIP)
Narasumber Dr. Dwiyanto Indiahono, MSi dalam Topic Kuliah Umum Virtual Program Studi Doktor Administrasi Publik FISIP-Undip dijelaskan Relasi pejabat politik-birokrasi, sejak orde baru birokrasi satu kubu dengan penguasana, dimana PNS sebagai mesin poltik, dan karakter birokrasi tidak bisa muncul.Â
Namun di Orde Reformasi sebelum UUASN netralitas birokrasi mulai digagas, dimana PNS dilarang berpolitik praktis, PNS mulai bersinggungan dengan pilkada langsung, mulai muncul gesekan antara karakter pejabat politik dan birokrasi. Kemudian orde reformasi setelah UUASN netralitias birokrasi mulai ditegakkan dimana Demokrasi besar muncul di kota tegal, PNS berani menantang pejabat politik, risiko konflik birokrasi Vs pejabat politik semakin tinggi.
Dikatakan oleh Dwiyanto bahwa pejabat politik cenderung instan dan teknokrat cenderung jangka panjang, sehingga untuk mencegah konflik maka pejabat politik harus bertindak elastis atau tidak kaku ketika berhadapan dengan birokrasi. Ini juga konsep werlin menyampaikan political elasticity.
Selain itu Menurut Dunn dan Legge Jr., 2002 ada insulin bureaucracy yaitu untuk mencegah konflik nilai antara pejabat politik dan birokrasi, birokrasi harus dipastikan netral dan tidak terpengaruh partai politik. Birokrasi harus diasingkan dari hiruk pikuk politik praktis.
Berbeda pendekatan kontrol politik dalam konsep Noorman dan Gregory, 2003 dan Jennings, 2009 disebutkan Thermostatic yaitu pejabat politik harus menjaga suhu politik.
Pendekatan birokrasi otonom, tenyata birokrasi otonom jarang muncul, karena peran aktor politik menjadi minim, dan cukup unik, karena birokrasi bisa dipercaya, maka pejabat politik tinggal tanda tangan, dan satu-satunya negara seperti ini adalah Jepang terkait birokrasi otonom, dimana berbeda dengan kebanyakan negara, jepang ini menunjukkan birokrasi dan politisi yang dianggap memilih.
Pendekatan kolaboratif atau kemitraan dimana administrator saling bekerjasama untuk menentapkan kebijakan publik dengan baik dan saling melengkapi sehingga menurut Svara, 2001:179 dimana pejabat politik dan pejabat karir dapat saling melengkapi.
Antara demokrasi dan birokrasi, dimana hirarkhi memaksimalkan human rationality, manusia memiliki keterbatasan sehingga harus menanggulangi bounded rasionality.
DIjelaskan Dwiyanto, bahwa ada pejabat politik yang hanya mementingkan para pendukungnya, dan ada juga tipe memimpin yang mendorong kepentingan konstituennya, sehingga pejabat publik pun harus mampu untuk harmonisasi dan harus bisa mewakili kepentingan negara. Jika mengkaji Birokrasi menurut Hegel disebutkan ada kepentingan partikular dan kepentingan universal. Birokrasi salah satu fungsinya melindungi kaum minoritas, dan ini amanah bagi para birokrat dalam melakukan kinerjanya.