Gencarnya Kredit motor di sejumlah daerah, menyebabkan nasib angkota desa menjadi semakin menurun pendapatan harian, wajar jika beberapa ijin trayek angkutan desa atau angkudes mengalami penyusutan atau penurunan, pemilik angkut merasa rugi, bahwa untuk melakukan service kendaraan kadang saja terlambat, belum lagi setiap berangkat harus mengisi BBM pulang pergi.
Pendidikan daring selama pandemi corona ini pun menyebabkan beberapa angkutan desa menjadi berkurang pendapatan, karena ada kebijakan dari Pemerintah daerah bagi anak sekolahan yang SD dan SMP pembelajaran pakai daring atau virtual, akibatnya anak lebih banyak di rumah, supir angkutan desa jadi pusing tujuh keliling, rejeki yang harusnya di dapat dari pendapatan anak sekolah menjadi hilang.
Sisi yang lain, kebanyakan orangtua mengantarkan anaknya ke sekolah dengan motor barunya, kredit sejumlah Rp 500rb saja bisa dapat motor baru, jika dihitung tiap hari harus membayar transportasi anak ke sekolah maka jelas bisa untuk membayar angsuran motor. Orangtua memilih mengambil cicilan motor dan kredit motor sekarang ini sangat dimudahkan.
Rata-rata angkutan desa banyak dimanfaatkan oleh pedagang ke pasar untuk berjualan, tentunya pedagang ini membawa barang bawaan untuk dibawa ke pasar, tiap hari pasti akan berangkat termasuk saat mau pulang ke rumahnya. Peluang bagi supir angkot pastinya ingin sebuah kepastian harian siapa yang harus diantar ke tujuan.
Era 90an saja, tidak semua desa warganya punya kendaraan L300, tapi sekarang di era terkini, hampir di desa mudah mendapatkan armada angkutan bak terbuka, dan ini juga menjadi pesaing bagi angkutan desa. Pastinya angkutan pedesaan seiring waktu jelas akan menurun bukan malah naik, apalagi jika kemudian mobil yang dikendaraai tidak mengalami peremajaan, maka warga pun enggan untuk naik kendaraan umum ini.
Rata-rata pemilik kendaraan bukan supirnya langsung, jadi kendaraan milik juragann, uang dari angkutan desa ini dibagi setiap harinya dengan perincian bagian untuk supir, bensin, dan pemilik kendaraan atau juragan angkut. Akan tragis jika pemilik kendaraan atau juragan angkot ini merasa rugi, lalu menjual semua angkutan desanya, alasan mereka ngapain meneruskan bisnis yang tidak jelas, banyak ruginya dan tidak menguntungkan.
Ngetem angkutan desa jelas tidak ada yang cepat, maklum harus mencari penumpang, lebih baik menunggu lama, terus penumpang ada, daripada tidak ada penumpang kemudian supir jalan melewati antar desa sesuai rute, padahal untuk jalan jelas butuh bensin, inilah yang menyebabkan banyak supir ngetem lama, sedangkan kalau ngetem lama, penumpang juga punya janji kegiatan lainnya, jika ngetem lama maka rugi banyak waktu, menghabiskan waktu saja, gara-gara numpang angkutan desa.
Pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk merawat kebijakan akutan desa karena ini adalah angkutan umum dan sangat mendukung peningkatan ekonomi warga, selain ongkosnya murah, dan juga bisa menjadi solusi dalam mengirimkan produk barang dari rumahnya ke pasar atau ke tempat lainnya. Namun sisi yang lain, ada pergeseran warga dimana mereka merasakan malu saat naik angkutan desa, mereka merasakan gengsi, perubahan naik motor sendiri menjadi kendala yang mendasar atas merosotnya angkutan desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H