Turut bela sungkawa dilakukan dengan cara mendoakan dirumah duka secara berjamaah selama 7 hari, dan dilakukan sejak mayit dikuburkan lalu malamnya mulai hingga 7 hari. Tanpa surat dari pihak shohibul musibah mereka warga ini datang secara bersama-sama, kirim doa yang diimami oleh sesepuh atau ulama setempat lewat tahlil berjamaah.
Begitu adat istiadat warga Desa di Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara. Tentunya ini bisa istiqomah karena sudah menjadi adat istiadat yang sangat melekat, apalagi warga pedesaan ini dikenal dengan rasa kegotongroyonagn yang tinggi.Â
Belum tentu di level perkotaan bisa seperti yang dilakukan oleh warga pedesaan, inilah Indonesia banyak ragam cerita inspiratif dari sebuah kampung pedesaan. Bagi sejumlah warga akan dapat undangan dari shohibul musibah saat ke 40 hari atas kematian almarhum/almarhumah, namun khusus hari pertama hingga ke tujuh hari, tiap malam tanl ada undangan, warga bergerak dan tidak merasa menjadi beban dengan datang ke rumah duka, pihak rumah duka juga hanya menyiapkan kursi sebanyak 700 dan sudah siap sejak bada magrib, sehingga saat bada isya selesai secara otomatis dan tidak pakai jam karet langsung dimulai tepat waktu.
Tahlil dan doa yang dibacakan oleh Ulama setempat ini, langsung gayung bersambut, saat imam berdoa maka jamaah mengamini dan dalam waktu 30 menit saja acara selesai, lalu dikasih bacaan  sholawatan langsung warga kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka rela meninggalkan rumahnya untuk saling menghormati dan saling mendoakan, pada gilirannya saat mereka kena musibah pada keluarganya tetap akan sama diikuti oleh semua warganya, merasa saling guyup rukun dan gotong royong.
Sebenarnya keluarga yang kena musibah, hanya menyediakan gelas aqua plus sedikit kue yang diberikan sebagai ucapan terima kasih, kue ini bisa disimpan atau dikasihkan kepada anak sebagai peningkatan gizi, filosofi bebrayan sangat kental dan ini adalah Budaya NU binget.Â
Bagi yang hidup diperkotaan pastinya model kaya gini sangat terkikis, tidak diundang surat aja merasa tidak diuwongke atau dihormati, akhirnya grundel atau mengeluh kenapa yang lain dipanggil saya kok ditinggalkan, salahku apa, begitu kesan beberapa warga yang hidup di perkotaan, urusan nafsi-nafsi atau individualisme masih melekat, bayangkan saat mengadakan poskamling, warga di pedesaan akan kompak menjaga keamanan lingkungan, namun saat sudah diperumahan perkotaan, maka warga lebih memilih bayar orang dengan honor bulanan sebagai satpam dan merasakan aman, fisiknya tidak mau hadir, suka bayar sejumlah uang tertentu, dan dianggap itu adalah bagian dari kesetiakawanan sosial, ya begitulah hidup di perkotaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H