Awalnya hobi berselancar saja, kemudian membaca beberapa artikel, lalu mulailah dilatih menulis artikel dengan mengirimkan naskah mingguan ke beberapa majalah, dan ternyata dimuat, dari situlah kemudian penasaran, untuk belajar menulis reportase jurnalistik harian, ternyata lama kelamaan sensitif pemberitaan mulai muncul, lalu dicoba lagi untuk menulis artikel harian, wah asyik juga, kemudian mendapatkan tantangan lagi untuk menulis tematik, ternyata asyik, terakhirnya mengajak penulis baru untuk mengikuti jejakku menulis rutin tanpa absensi.Â
Menulis rutin tanpa libur, ternyata ini yang lebih sulit, dan sangat jarang penulis yang mau mengikuti jejak ini, ketika ada ide baru mau menulis, saat ide tidak ada, ya tidak menulis, ternyata ide tidak ada lebih banyak, maka yang muncul istilah jarang nulis, ketika mereka yang jarang menulis ditanya mau memulai nulis lagi, jawabnya kok idenya bisa lebih lama yah, dan semakin tidak terlatih dalam mengurangaikan kata demi kata.Â
Ternyata ini bukan terjadi pada satu atau dua orang, hampir sebagian besar para penulis kompasiana jika jarang menulis, maka saat mengawali tulisan barunya mengalami kendala untuk penyesuaian akan tulisan terutama dalam mendapatkan referensi pustaka dan penerapan kata demi katanya, mau struktur kata agar deduktif atau induktif sangat kesulitan. Namun sebaliknya, saat sering menulis, ide kok muncul secara tiba-tiba, dan mudah mengurai kata.Â
Hobi menulis mutiara pengajian, itupun sebenarnya ingin melatih daya ingat, bagaimana pendengaran pada telinga, dan melatih otak kanan dan otak kiri penulis, termasuk harus mencoba merangkaikan kata-kata yang muncul dari penyaji, apa yang diucapkan dan didengarkan terkadang jika struktur kata yang diucapkan oleh para mubaligh, kita sebagai penulis harus dapat meramu kata-kata mereka dan diolah agar mudah dibaca oleh pembaca, kalau menulisnya seperti apa yang diucapkan tanpa di olah, terkadang mencolot putra mencolot putri, ketika tidak terstruktur pembahasannya maka penulis sendiri terkadang susah untuk merangkainya, wajar jika para awak media kemudian menulis hasil wawancara atau statemen yang diucapkan oleh narasumber kemudian direkam, dan diambil intisari yang sesuai dengan lead dan judul yang ada, sehingga memperkuat pemberitaan yang akan di publish.Â
Sama halnya dengan menulis mutiara pengajian, terkadang ada beberapa kyai atau ulama yang menerangkan mutiara kitab dengan kitab lainnya, maka sebagai penulis juga harus mengikuti iramanya mereka dulu, kitab apa yang tadi dibacakan, kemudian dicari kitab tersebut, sama halamannya, referensi apa yang sesuai dengan yang disampaikan, baru kemudian diramu dalam bahasa jurnalistik atau bahasa yang mudah dibaca, minimal sekelas tamatan SD/SMP bisa membaca tulisan tersebut, karena kita memahami bahwa ketika kita menulisnya dengan bahasa sedikit intelektual, banyak pembaca yang tidak memahami istilah itu, sehingga penulis harus menerjemahkan satu persatu istilah yang diucapkan.Â
Disinilah ketajaman analisa, pencarian referensi, dan kemampuan otak kanan dan kiri harus diasah sedemikian rupa, belum lagi saat menulis mutiara pengajian selesai, tulisan selesai, ini memang butuh talenta yang cukup banyak, bukan hanya penerapan antar bahasa, juga sinkronisasi dalam penafsiran juga harus dipahami, termasuk dalam mencari referensi kitab yang disebutkan, mereka harus menguasai beberapa istilah bahasa arab, dan istilah padanan dan istilah lain untuk memperkuat isi naskah yang ditulis.Â
Namun kalau sudah jadi hobi, maka lama kelamaan biasa, awalnya susah, lambat laun ya bisa menyesuaikan, paling susah ketika penceramah agama itu tidak menerjemahkan ayat alquran dan tafsir kitab yang dibacakan, dianggap semua audience adalah sesuai kapasitasnya, dan susah menulis lagi jika terkait silsilah nasab, karena kecepatan mengucapkan ditambah lagi ada bin ayah kandung, dst, sehingga harus di rekam dan dibawah pulang baru kemudian di nyalakan lagi apa yang disebutkan, berarti penulis ini harus menunda publish langsung. Â Termasuk saat menulis istilah arab dan english dari narasumber, ini juga butuh multitalenta.Â
Penulis yang baik, apabila mereka punya kader penulis baru yang tumbuh karena tidak dipaksa, dan ingin belajar kuat untuk menjadi seorang penulis yang tidak instan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H