Setiap acara pembacaan yasin dan tahlil yang dilaksanakan di kampung-kampung, tuan rumah atau shohibul musibah memberikan penghormatan dengan menyediakan teh manis panas, gorengan atau kue kering dan satu pendamping wajib di sediakan adalah rokok. Maklum mayoritas jamaah laki-lakinya adalah ahli hisap atau orang perokok aktif.Â
Semakin bermerk rokoknya, maka semakin banyak yang menghisap, bahkan ada yang aji mumpung, minta satu batang rokok untuk nanti dibawa pulang, biar bisa disambung lagi rokoknya di rumah. Namun kalau rokok yang disediakan sekelas kretek ya nanti cuma satu saja yang dinyalakan, bahkan tidak habis, lalu imam sudah mengucapkan kalimat shollu ala muhammad, jamaah langsung menjawab Allahumma shollia alai...lalu pulang satu persatu.Â
Baju yang kita pakai akan berbau asap rokok, baik yang perokok aktif dan pasif. Semua kena imbas dari asap rokok ini, ruangan di dalamnya dipenuhi dengan kepulan asap, bagi perokok aktif, hal yang wajar, bagi yang tidak merokok maka hanya bisa menahan bau asap rokok dan menghindari atau segera pulang, tidak bisa berlama-lama di lokasi tersebut.Â
Rokok Jadi Magnet
Menjadi tabu, jika shohibul hajat tidak menyediakan rokok dalam bentuk batangan yang sudah dibuka, tidak dalam bentuk packing, rokok dimasukan dalam gelas lalu diberikan kepada anggota jamaah, satu gelas itu satu bungkus rokok yang isinya ada 10 batang atau 12 batang, dan sudah diprediksi, jika yasin dan tahlil di hari pertama hingga ke 3 hari maka akan lebih banyak jamaahnya, nanti akan berkurang dihari selanjutnya, termasuk saat mau berangkat kondisi hujan.Â
Bagi kaum adam, rokok di pengajian ini menjadi magnet perekat, menjadi gayeng atau lama berdiskusi karena prediksi mereka harus habis satu batang rokok baru akan keluar dari pengajian tersebut, kalau menu hidangannya cocok, bisa saja kisaran 20-30 menit untuk diskusi yang tak ada ujungnya dan bebas untuk diskusi.Â
Rokok menjadi pendamping kesepian, manakalah teman satunya pasif semua, perokok ini akan menyendiri ditemlT yang jauh dari mereka yang tidak merokok, disini perokok merasakan seperti ada diskriminasi atau diasingkan, sehingga mereka harus cari lokasi sendiri untuk memghisapnya.
Coba anda bayangkan bagi perokok saat di area hotel, ada ruang khusus smoking maka yang terjadi kaya ada gap antara perokok aktif dan pasif, ibarat minyak dengan air, tak bisa bergabung karena masing-masing punya kesibukan dan kesukaan termasuk privasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H