Hamparan luas terbentang dilahan pertanian di Kabupaten subang, menandakan bahwa stok padi di daerah ini sangat tersedia dengan baik, supplay gabah jelas tercukupi, daerah ini dikenal dengan kabupaten penyuplai gabah atau beras ke Ibukota Indonesia.Â
Stok beras yang ke Ibukota Jakarta paling dominan dari supplay Beras Cianjur, Beras Solo, Beras Garut,Beras Bandung, Beras Sumedang, Beras Kerawang, Beras Subang, Beras Indramayu baik itu jenis Pandanwangi, Raja Lele maupun ragamnya.
Pastinya untuk daerah penghasil gabah, maka di hulu hilirnya akan bagus, disamping stok airnya melimpah, juga kemauan petani dalam memanfaatkan lahan sawahnya untuk ditanami padi itu menjadi pilihan utama, bayangkan jika saat musim kemarau kemudian ada air saja yang mengalir, maka dipastikan wilayah Subang, Indramayu dan daerah sekitarnya akan menanam padi sepanjang tahun.
Sayangnya ada beberapa titik yang terlihat saat penulis naik kereta api, sepanjang jalur yang dilalui, ada yang sudah panen dan ada yang berani nanam padi lagi. Ada juga beberapa aliran sungai yang masih tampak ada airnya, dan petani berani menanam karena bisa lewat pompanisasi lalu airnya bisa dialirkan ke aliran sungai dimana lahan itu diolah.Â
Namun ada juga lahan yang sudah mulai kering, bekas lahan di bakar, panen padi dengan alat pertanian, terlihat dari hasil bekas panenen padinya. Ada dua opsi yang dipilihnya petani saat padinya panen,pertama dijual ke tengkulak atau tukang tebas, dan yang kedua di panen langsung terus ditaruh di gudang gabahnya sendiri sebagai stok gabah, nanti saat ada harga bagus baru di jual.Â
Opsi dua ini, ada untung ruginya. Kalau dijual langsung ke tengkulak, maka langsung dapat uang tunai, tidak ambil pusing untuk merawat padi menjadi gabah kering dan di packing ke karung. Duduk manis sudah dapat uang dari tengkulak, dan tengkulak juga sudah menghitung hasil berapa tonasi jika beli padi saat sudah menguning dan siap panen.
Petani yang panen langsung dan ingin dijadikan stok gabag di lumbung padinya rata-rata adalah petani pemilik lahan yang luas, tuan tanah punya hamparan padi yang luas dan biasanya sudah tahu kapan gabah harus di jual, kapan gabah harus panen, ilmu menghitung naik turun harga gabah sudah di otaknya, wajar saja jika mereka para tengkulak dan petani pemilil lahan yang menggarap lahannya untuk padi akan mendapatkan untung yang lumayan. Namun bagi petani yang lahannnya terbatas ya alamatnya dijual langsung biar uangnya bisa diputar kembali.Â
Jadi petani padi memang lebih tenang dibandingkan petani bawang merah, karena petani padi itu asal airnya cukup, bibit padinya cocok dan hamanya tidak terlalu banyak, maka dipastikan panen dan petani ini tidak setiap hari datang ke lokasi lahannya, berbeda dengan petani bawang merah, maka harus datang tiap waktu dan harus super teliti serta waspada dengan hama penyakit yang sangat cepat merusaknya. Jika lengah 3 hari saja nasib bawangnya langsung gatot atau gagal total.Â
Harapan petani sekarang ini adalah kaderisasi sangat penting agar generasi mudanya masih suka bertani, tanah warisan dari ayahnya atau leluhurnya seyogyanya dipertahankan untuk stok swasembada pangan, jangan sampai berubah fungsi, dijual untuk perumahan atau bisnis kapling.Â
Petani berharap ada komitmen dari pemerintah untuk stabilitas pangan, melalui penataan saluran irigasi dan sumber mata air yang baik, hulu dan hilir di perbaiki, harga obat yang tidak mencekik leher petani, termaasuk perhatian pada harga dipasar yang stabil, bila bisa mengendalikan harga dipasaran maka dipastikan petani akan bertahan pada sektor usahanya dan tidak beralih ke sektor lain, termasuk enggan beralih profesinya dan lahannya tidak dijual ke industri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H