Kebiasaan merokok bagi warga Indonesia menjadi angin segar bagi Perusahaan Rokok, semakin meningkatnya pengguna atau pemakai tembakau maka semakin besar keuntungan yang didapat, termasuk juga rantai distribusi ekonomi berjalan dengan baik, bahkan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, terutama dari kaum hawa.Â
Pajak akan cukai rokok bagi negara juga sangat menguntungkan, dana trilyunan masuk negara sebagai pajak cukai dan bagi hasil cukai pun dinikmati oleh semua kab/kota di Indonesia, bagi penulis sangat mustahil bila pabrik rokok di Indonesia ini ditutup apalagi hilang dari peredaran di republik ini. Bahkan kecenderungan produk rokok semakin bertambah merk dan juga inovasi produknya.Â
Bagaimana Rokok Dari Sisi Konsumsi Warga
Penduduk yang memiliki kebiasaan merokok di Indonesia berjumlah lebih kurang 90 juta orang, mayoritas adalah laki-laki, dengan rata-rata rokok yang dihisap adalah 12,3 batang per hari.Â
Apabila rata-rata harga rokok per batang adalah Rp 1.000,- maka pengeluaran masyarakat Indonesia untuk membeli rokok mencapai Rp 1,1 Trilyun per harinya.
Mengutip pernyataan email sehat negeriku, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM) Kemenkes RI, dr. Cut Putri Arianie, MHKes sangat menyayangkan karena seandainya besarnya biaya tersebut dibelikan makanan yang baik, mungkin kebutuhan gizi (masyarakat) di Indonesia dapat tercukupi.
"Ini sungguh memprihatinkan. Tren pengeluaran rumah tangga termiskin di Indonesia lebih mengutamakan produk hasil tembakau (rokok) daripada kebutuhan pokok lain, seperti telur atau susu", ujar dr. Cut saat memberikan penjelasan mengenai Arah Kebijakan Pengendalian Konsumsi Produk Hasil Tembakau dalam kegiatan Temu Media di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat sore (25/3) kemarin.Â
Dalam paparannya, dr. Cut menyebutkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran BPS tahun 2015 yang mencatat bahwa rata-rata pengeluaran bulanan penduduk termiskin diperuntukkan untuk membeli padi-padian (15,51%) diikuti produk tembakau dan sirih (12,56%). Sementara, untuk telur susu dan protein lainnya persentasenya sangat kecil, yakni hanya 1,98% saja.
"Ini yang seringkali terjadi, biaya yang dialokasikan untuk membeli rokok lebih besar dibandingkan untuk membeli makan untuk keluarganya", imbuhnya.
Menurut dr. Cut, kebiasan buruk masyarakat mengonsumsi rokok menjadi tantangan nyata bagi pembangunan sumber daya generasi bangsa Indonesia, terutama dalam mencukupi kebutuhan gizi mereka agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga bisa bersaing secara global di masa depan.
"Sudah tersita untuk rokok, ditambah adanya budaya di beberapa daerah yang mendahulukan pria untuk mengambil porsi lauk pauk paling besar saat makan, baru diikuti anak dan istrinya. Kalau seperti ini, bagaimana bisa terpenuhi kebutuhan gizinya (baca: anak-anak dan ibu hamil)?", tandasnya.