Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uang Ketupat Selalu Dinanti, Berkah Bulan Ramadan

6 Mei 2018   10:54 Diperbarui: 6 Mei 2018   11:54 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang Ketupat/Doc Poskotanews.com

Dikatakan bulan penuh berkah, bukan hanya karena dapat pahala yang berlimpah ruah, pahala surga digelar, siapapun boleh mendapatkannya, makanya mereka saling fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan) dan dilarang untuk berbuat angkara murka apalagi pada saat bulan puasa melalukan perbuatan haram, maka menjadi umat yang merugi. 

Berkah di dunia selain sehat dan sempat, ada berkah yang sering dinanti oleh para pekerja baik di perusahaan swasta maupun di lembaga institusi manapun, kalau sudah dengar dan menerima uang ketupat maka hatinya berdebar-debar, apalagi jika diberikan satu kali gaji uang ketupatnya, terasa sejuk dan tak terbayangkan rasanya. 

Uang ketupat atau dikenal dengan THT adalah kewajiban seorang Pengusaha untuk wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih. Kemudian  THR Keagamaan diberikan kepada Pekerja/Buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan Pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

Bila perusahaan melanggar, maka dalam peraturan menteri tenaga kerja menyatakan bahwa Pengusaha yang terlambat membayar THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.

Uang ketupat ini diberikan oleh peruaahaan atau pengusaha yang mempunyai karyawan. Yang jadi aneh sekarang adalah uang ketupat tapi dari lembaga sosial kemasyarakatan melalui surat saktinya ditujukan kepada institusi pemerintah dengan meminta uang ketupat, secara hirarki mereka bukan karyawan atau pekerjanya dan tidak masuk dalam aturan regulasi menteri tenaga kerja. 

Terus uang ketupat yang diajukan ke lembaga pemerintah lewat surat berkop lembaga atau organisasi tertentu perihal uang ketupat itu tanggung jawab siapa, bolehkah menolak dan salahkan jika tidak memberi ? 

Inilah yang menarik yang perlu ditelaah secara jelas. Kalau lihat dalam aturan peraturan menteri, maka boleh institusi pemerintah kab/Kota untuk menolak memberikan uang ketupat kepada lembaga atau institusi walaupun menggunakan surat ber kop dan stempel organisasi, karena mereka bukan peruntukannya sesuai dengan aturan yang ada. 

Sangsi jelas tidak ada jika tidak memberikan uang ketupat. Tidak ada hirarki atas pekerjaan dan juga hubungan atasan dan bawahan, dan boleh menolak bila diminta, karena uang ketupat yang ada jelas bukan untuk kepentingan organisasi tapi untuk kepentingan individu yang berada di organisasi. 

Budaya uang ketupat yang seperti ini akan terus menerus berlanjut jika tidak dilakukan penertiban atau surat edaran dari institusi diatasnya, secara norma anggaran pun tidak ada tulisan uang ketupat yang boleh dianggarkan untuk organisasi masyarakat, mereka hanya spekulasi antara dapat dan tidak. Jika ada ketegasan atas kebijakan uang ketupat diluar kebijakan peraturan menteri tenaga kerja maka tidak ada transaksi uang ketupat kepada oknum. 

Karena uang ketupat adalah hak karyawan atau buruh atau pekerja maka itu adalah uang halal yang harus diterima oleh mereka yang punya hak. Tapi bila tidak ada hubungannya  dengan pekerjaan tertentu diluar ketentuan regulasi maka uang ketupat dianggap uang gelap yang tak ada ujug pahalanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun