Dunia farmasi semakin menggeliat, bila kita mengalami kesakitan, maka pilihan berobat sudah tentu ke tenaga medis. Pemerintah sudah cukup lama melakukan upaya perbaikan derajat kesehatan masyarakat sekaligus sosialisasi kepada semua warga Indonesia baik itu lewat media, mulut ke mulut maupun komunikasi yang dilakukan oleh tenaga medis itu sendiri, sehingga wajar jika dampak yang kentara adalah  bila anda sakit maka datanglah ke dokter atau pusat layanan kesehatan masyarakat bisa ke puskesmas, klinik pratama maupun ke rumah sakit.Â
Sepertinya keberadaan dokter sangat berpengaruh besar pada tingkat pengobatan bagi warganya. Bila ada dokter yang menjalankan praktek medisnya, maka ada bisnis yang dimunculkan yakni ada toko obat yang kita kenal selama ini "apotek".Â
Puluhan tahun yang lalu, mungkin kita mengalami kesulitan dalam menukarkan resep dokter ke apotek di salah satu ibukota kab/kota, hanya apotik yang punya jaringan banyak dan bermodal besar tentunya tersedia komplit, terutama stok obatnya. Bahkan resep obat dokter spesialis pun tidak sembarang apotek mempunyai cadangan obat sesuai resep yang tertulis dokter.Â
Namun seiring perkembangan zaman,dengan banyaknya lulusan sarjana sarjana farmasi dan mengambil profesi apoteker, kebijakan BPJS, dan ketersediaan perusahaan farmasi, maka bermuncullah bisnis apotik yang sekarang tumbuh suvur hingga ke ibukota kecamatan, bahkan kecenderungan di kompleks perumahan elit atau perumahan cluster bisa terjadi ada apotik yang menjual obat dengan layanan resep dokter keluarga, termasuk dengan munculnya klinik pratama sekarang hampir satu paket ada dokter, juga ada apoteknya.Â
Masyarakat benar-benar sangat dimanjakan dengan tumbuh suburnya apotik yang ada, bahkan ada juga apotek yang berani menyediakan obat tanpa resep dokter, dianggap aman, mereka kasih obat tertentu dan dipaketkan dalam satu plastik kecil lalu dijual kepada mereka yang mau beli, tentunya obat ini tidak dosis tinggi, tapi obat generik yang biasanya dijual karena sakit flu batuk, sakit kepala, perut mules atau bisa juga sakit gigi dan sakit pegel linu atau rematik.Â
Mereka kemas karena penyakit ini hampir dipastikan rutin terjadi dan dialami semua warga,sehingga tanpa resep dokter pun mereka berani, padahal tindakan seperti ini jelas keliru, namun karena ada selisih harga yang ekonomis dan menghilangkan biaya periksa dokter keluarga menjadikan apotik seperti ini ramai yang beli, tentunya dia tidak usah datang ke dokter, cukup dengan bawa uang Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu sudah bawa obat tersebut dan ada efisiensi tanpa bayar periksa dokter.Â
Warga jika sakit, maka rujukan pertama adalah obat warung yang harganya murah, bila tidak sembuh, baru datang ke apotik yang diyakini dia menjual obat generik tanpa resep, ketiga datang ke puskesmas karena layanan periksanya gratis, keempat adalah datang ke dokter keluarga, kelima adalah ke poliklinik rumah sakit atau dirawat di RS Pemerintah atau Swasta.Â
Untuk mendirikan usaha apotek tentunya butuh modal yang cukup dan ada tenaga apoteker yang bertanggungjawab terhadap usaha yang dia operasionalkan, syarat mendapatkan operasional ijin apotek ini silahkan langsung berkonsultasi dengan pihak dinas kesehatan kab/kota untuk ijin pendirian usaha apotek termasuk dengan KPT bagian perijinan di kab/kota.Â
Modal pasti kembali, apalagi jika posisi usaha tersebut strategis maka akan dangat menguntungkan, jika tidak untung buat apa bisnis ini semakin menjamur hingga ke desa atau ibukota kecamatan.Â
Penulis juga berpesan, benar setiap kita sakit datanglah ke dokter, tapi tidak baik jika hidup kita ini mengkomsumsi obat apotik terus, disamping mahal pengeluaran setiap bulannya juga berdampak pada fisik kita karena obat pabrikan jika ada bahan kimianya, semakin tubuh mengkonsumsi obat kimia maka semakin berdampak pada fisik kita.Â
Obat tradisional atau alami sepanjang bisa dikonsumsi lebih baik pakai itu daripada harus obat pabrikan yang setiap hari dikonsumsi. Itu adalah pilihan anda..kesehatan memang mahal tapi lebih baik banyak berolahraga dan jangan mengonsumsi obat atau makanan secara berlebihan.Â