Inspirasi penulis pagi ini, kamis (15/03/2018), Â mobil baru naik mobil tronton, motor naik tronton. Sepertinya hal biasa terjadi dan melintas di jalur nasional Jakarta-Surabaya. Sejak Brebes hingga pekalongan saja kurang lebih puluhan mobil tronton bawa mobil baru dan motor baru dari berbagai merk.Â
Dapat diprediksikan bahwa mobil dan motor baru ini sudah jelas ada identitas kemana alamat kirimnya, bisa saja kirim ke semarang, surabaya, atau kota-kota besar yang sudah memesan ke pabrik di jakarta untuk diberikan kepada dhealer mobil atau motor sesuai request pesanan.Â
Hitung saja jika satu tronton bawa mobil ada 8 unit sedangkan motor ada 60 unit sekali kirim, dengan durasi pengiriman bisa dua kali dalam seminggu atau lebih, berarti pabrik pembuatan komponen mobil dan motor setiap hari tidak pernah berhenti dati proses perakitan hingga finishing.Â
Rantai produksi, penjualan, pemasaran hingga perawatan pun sudah didesain dengan rapihnya, wajar jika bisnis industri otomotif  ini sangat menjanjikan, ada demand and supply yang saling menguntungkan, bahkan dunia perbengkelan semakin meluas dan berkembang dengan pesatnya hingga ke pelosok negeri ini.Â
Pajak pertambahan nilai (PPN) jelas terbayarkan, berapa trilyun negara ini mendapatkan income dari sebuah transaksi penjualan barang ini, belum lagi pajak lainnya dari usaha para bengkel motor dan dhelaer seluruh Indonesia. Wajar jika industri ini terus memproduksi rakitan mobil dan motor tanpa ada batas hitungan jumlah produksi sampai kapan ini berakhir.Â
Kalau menghitung jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta dan diprediksi di tahun 2020 ada 270 juta jiwa, maka dikalikan satu orang 1 motor dan 1 mobil saja maka betapa dahsyatnya keuntungan yang bisa diraup oleh para investor besar ini. Anggap saja target 50persen saja mereka memiliki motor dan mobil maka hitungan putaran uang di Indonesia sangatlah cepat dan banyak.Â
Sepertinya aspek kemacetan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan semakin panjang, satu mobil tronton atau mobil box atau truck saja rusak onderdil di jalan, bisa berdampak kiloan meter macetnya kendaraan, belum lagi aspek keamanan berkendaraan, kecelakaan di jalan raya jelas akan menempati urutan pertama, dibandingkan jika kematian Ibu Hamil atau Anak di rumah sakit, sepertinya persoalan ini belum teruraikan dengan solusi holistik integratif, masih parsial dalam melangkahnya.Â
Selama ini, semrawurnya pengguna jalan karena perilaku berkendaraan masih melekat kuat di warga Indonesia, contoh yang terjadi di metropolitan jakarta, saat macet maka semua kendaraan ingin cepat sampai, jurua srobot kanan kiri dianggap hal biasa, jika nanti ada polisi terus ditilang, jalur damai pun kadang bisa dilakukan, kalaupun ditilang ya ikuti saja peraturan yang berlaku, aspek jera tidak membekas pada pengguna jalan ini.Â
Operasi yang dilakukan pihak kepolisian kerap terjadi disejumlah kota/kabupaten, alasan mereka biar ada efek jera, disiplin berlalu lintas, termasuk menciptakan rasa aman jika semua pengguna kendaraan membawa surat lengkap dan tidak merubah atau modif kendaraan yang dibawa, namun realita yang terjadi malah sebaliknya, semakin banyak motor yang sidang tilang, wajar jika buku tilang pun laku keras dan bisa mendapatkan income ke negara.Â
Rasio kapasitas mobil dan motor dengan fasilitas jalan sepertinya tidak dihitung secara komprehensif, walaupun penulis melihat para siswa yang belajar di sekolah tinggi transportasi darat menghitung mobil dan motor setiap tahunnya, dan juga menghitung kenaikan volume kendaraan saat padat dan saat sepi. Namun jika tidak disikapi dengan seksama oleh para pengambil kebijakan di pusat maka ini menjadi persoalan yang serius yang harus dicarikan solusinya..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H