Mengembalikan anak tidak sekolah itu tidak segampang teori yang dikemukakan. Terkadang terkendala pada kemauan anaknya itu sendiri, alasannya malas sekolah, motivasi orangtuanya yang tidak kuat, apalagi pihak orangtuanya  rata-rata minimnya biaya karena pendapatan sehari-harinya. Juga realita yang terjadi pada prakteknya untuk menyekolahkan anak agar belajar disekolah sangatlah mahal.Â
Negara memang menjamin setiap anak agar bersekolah di pendidikan formal maupun non formal. Ada bantuan operasional sekolah yang dialokasikan kepada anak jika sudah masuk sekolah, tapi uang yang dialokasikan negara kepada anak di sekolah. Ternyata hanya sebagai stimulan saja agar anak bisa belajar dan menggapai cita-citanya. Namun ada biaya yang dianggap sangat mahal, yakni memberikan uang saku harian kepada anaknya sendiri agar anak ini bisa sekolah dan tidak merasa minder saat sekolah.Â
Uang saku sekolah setaraf SD/MI di desa sekarang paling sedikit adalah Rp 5 ribu. Jika sebulan saja anaknya ini berangkat maka orangtua harus menyediakan dana sekurang-kurangnya Rp 150 ribu/bulan. Bayangkan jika setahun maka ada Rp 1, 8 juta, inipun belum menghitung jika ada tambahan disekolah melaksanakan kegiatan piknik ke obyek wisata.Â
Untuk masuk ke sekolah di tingkat SD/MI maka butuh seragam sekolah kurang lebih Rp 300 ribu dengan perincian baju sekolah osis, pramuka, batik, dan seragam olahraga. Kalau nanti ada kenang-kenangan buat sekolah saat anak ini selesai belajarnya dapat dibayangkan berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orangtuanya.Â
Namun bagi anak dari keluarga sangat miskin, anak dari keluarga yatim, anak dari keluarga yatim piatu, dan anak yang mengalami disabilitas tentunya menjadi masalah yang luar biasa, wajar jika disetiap kab/kota di Indonesia masih banyak yang menyisakan anak tidak sekolah dan kondisinya relatif naik karena tidak semua kab/kota serius untuk melakukan upaya pengembalian anak tidak sekolah.Â
Ada rasa malu dari Pemerintah Kabupaten/Kota ketika diminta databaseline anak tidak sekolah (ATS) dipublikasikan di media cetak atau online. Bila mereka mau jujur ada pengakuan data ATS maka dianggap kinerja yang dilakukan selama ini tidaklah berhasil. Padahal data dasar ATS itu sangat penting untuk mengambil kebijakan di ranah pemerintah kab/kota, anggaran juga harus berdasarkan data yang akurat, karena kalau melaksanakan pembangunan tanpa ada data. Maka akan sia-sia dalam kemajuan daerahnya.Â
Di Level Pendidikan dasar saja masih menyisakan masalah dalam pembiayaan bagi ATS, apalagi ATS di jenjang pendidikan menengah. Sudah biayanya mahal baik sekolah di SMA/SMK Negeri atau swasta, apalagi keluarga KSM anaknya ingin masuk di sekolah unggulan, maka lebih pusing lagi terkait urusan menyekolahkan anaknya.Â
Kewenangan pendidikan menengah sekarang menjadi urusan provinsi, maka secara otomatis otoritasi dinas pendidikan kab/kota dalam mengintervensi ATS di satuan pendidikan formal level menengah pun sedikit sudah, dibandingkan intervensi di level kewenangannya yakni di Wajar Dikdas 9 tahun.Â
Namun penulis optimis, bila setiap kab/kota ada program gerakan kembali bersekolah yang dilakukan oleh Pemkab/Pemkot di seluruh Indonesia, maka akan sedikit tersolusikan agar nasib anak di Indonesia yang tadinya mengalami putus sekolah, tidak lanjut, ataupun usia sekolah belum sekolah karena mengalami disabilitas ini bisa mengenyam pendidikan sesuai klasifikasi umurnya. Semoga tidak ada kebijakan diskriminasi pendidikan bagi semua.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H