Hampir di sebagian daerah, trotoar dijadikan sebagai tempat pangkalan pedagang kaki lima (PKL), walaupun trotoar itu fasilitas publik, namun para pedagang punya kebiasaan buruk yakni menempati lahan yang dianggap strategis dan jika ditempati tidak petugas yang melarang, atau pihak aparatur kelurahan atau Satpol PP yang melarangnya, maka diangaap ada rasa aman dalam usaha.Â
Mereka yang melakukan usaha ini memang rata-rata tidak permanen, model bongkar pasang. Biasanya buka tidak di pagi hari, tapi sore hingga malam. Bagi para pedagang yang berani buka di pagi hari adalah warung makan sarapan pagi saja, mereka menempati trotoar tersebut dan dibuatkan model tenda, ada yang lesehan dan juga menempati kursi terbatas. Termasuk ada yang  berani menempati secara permanen.
Keberadaan PKL di Trotoar yang ada disejumlah daerah pun sebagian warga mengeluhkan, seperti contoh yang dilangsir dalam situs  beritanasional.id di  Situbondo Jawa Timur, bebeberapa titik trotoar di Situbondo sudah beralih fungsi  menjadi tongkrongan para pedagang kaki lima (PKL),  dan ini dikeluhkan oleh masyarakat Situbondo.Â
Irwan (39), warga Situbondo, mengaku kondisi trotoar di Situbondo, sudah beralih fungsi menjadi tempat para pedagang kaki lima, namun ironisnya, tidak ada tindakan dari dinas terkait. Â Semakin amburadul tata ruang kota, Â beberapa titik trootoar sudah beralih fungsi menjadi tongkrongan pedagang, dan tidak ada tindakan?
Sebenarnya, namanya  trotoar yang seharusnya menjadi fasilitas umum untuk para pejalan kaki , kini sudah marak sejumlah pedagang bertandang di atasnya hingga menyulitkan para pejalan kaki. Â
Padahal kalau merujuk ke aturan hukum pada Pasal 28 ayat (2) UU No. 22 Th 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) jelas sudah disebutkan setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan. Jika, diketahui melanggar, pelanggar akan dikenakan 2 macam sanksi yakni ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000
Contoh yang lain, di Cirebon Jawa Barat, Satpol PP Kota sering melakukan penertiban PKL yang menggunakan trotoar untuk jualan, karena trotoar itu fasilitas publik bagi pejalan kaki, bukan untuk berjualan bagi pedagang kaki lima. Sedangkan dari sisi PKL ini berharap ada keberpihakan pihak pemerintah untuk mengupayakan taraf pendapatan mereka. Â
Sebagaian pedagang wajar menggunakan trotoar untuk jualan, disamping letak strategis, dan akses orang untuk membeli juga lebih banyak, kalau kita berjualan dengan model keliling kampung, disamping cukup lelah, kadang juga tidak laku, namun jika menempati lokasi yang strategis, maka mudah dilihat orang dan akhirnya pembeli datang sendiri.Â
Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah juga tidaklah berbeda dengan kondisi di situbondo, cirebon dan beberapa kota atau kabupaten yang lain. Alun-alun sebagai tempat fasilitas publik dimana trotoarnya bisa untuk pejalan kaki, malah digunakan untuk para pedagang kaki lima untuk berjualan sejak sore hari hingga malam, mereka bahkan diberikan fasilitas listrik, sehingga setiap PKL yang menempati lokasi tersebut harus membayar kontribusi sebagai pendapatan daerah.Â
Kondisi ini ternyata terjadi juga di beberapa Kab/kota di Jawa Tengah, bahwa alun-alun yang ada lebih dominan diminati oleh para pedagang kaki lima untuk jualan, wajar sekarang tumbuh subur paguyuban pedagang kaki lima yang terorganisir.Â
Perlu ada dilakukan perumusan kebijakan terkait PKL ini dalam rangka menggunakan fasilitas publik, fenomena sekarang trotoar yang digunakan untuk pejalan kaki sesuai undang-undang sekarang sudah mulai berkurang, disamping ada yang digunakan untuk PKL, juga ada yang digunakan oleh Pemerintah daerah sendiri dengan menanam bibit pohon dan ditaruh Pot tanaman.Â