Sebuah percakapan menarik antara penulis dengan salah satu pejabat di institusi pemerintah di Jalur Pantura. Pengalaman penulis saat itu penasaran dan akhirnya mencoba bertanya langsung kepada salah satu pejabat tersebut tentang ketepatan peserta hadir, apakah sesuai dengan undangan yang dikirimkan kepada peserta, dengan bangganya dan percaya diri pejabat tadi langsung mengatakan, sudah biasa mas, kalau ada rapat undangan jam 09.00 WIB, nanti akan dimulai 1,5 jam berikutnya, " Molor mah biasa mas, bisa 1 jam bisa lebih dari 1,5 jam, Â kalau undangan jam 09.00 WIB nanti acara bisa dimulai pada jam 10.30 WIB.Â
Apakah ini terjadi disemua Kecamatan Bapak, dijawab iya mas. Malahan biasanya tingkat kehadiran peserta penuh, kisaran 75-80% dan anehnya yang sering terlambat dominan di aparatur desa, sebenarnya saya sangat sedih mas, berapa banyak waktu yang terbuang akibat molornya rapat ini, tapi aneh lho mas jika rapat yang mengundang dari Institusi Polisi atau Tentara, peserta yang dari sipil ini yang biasanya terlat datang, ini dipastikan datang sebelum jam yang ditentukan, dipastikan datang tepat waktu.Â
Budaya molor rapat, betul-betul melekat dan dianggap mereka hal yang biasa dan sepele, harusnya budaya seperti ini dirubah, namun faktanya malah melekat kuat bahkan dipertahankan sebagai contoh yang dianggap biasa baik peserta maupun bagi institusinya.Â
Kondisi ini tidak hanya terjadi pada institusi pemerintah saja, tapi juga berimbas pada institusi lainnya dan anehnya beberapa kabupaten/kota yang penulis ikuti  hampir merata " molor" sudah biasa. Â
Penulis mencoba untuk hadir tepat waktu sesuai dengan undangan dari panitia penyelenggara, hingga satu jam menunggu, belum ada satu peserta pun yang datang. Mereka baru mulai berdatangan pada saat jam 09.30 WIB hingga 10.30 WIB.
Sebenarnya molor rapat itu  siapa sih yang memulainya, kenapa peserta ini senang datang terlambat, bisakah sikapnya dirubah, dan kapan bisa berubah, oleh siapa yang bisa merubahnya.Â
Pertanyaan diatas, penulis yang sampai sekarang belum terjawab. Penulis hanya bisa mengasumsikan kenapa munculnya molor rapat, pertama adalah jarak tempuh antara peserta yang diundang dengan lokasi rapatnya, kedua, peserta menganggap bahwa undangan yang dihadiri tidaklah penting baginya, kalaupun terlambat tidak mendapatkan hukuman dari panitia penyelenggara, ketiga, rapat terus tapi kesannya tidak membikin desanya maju, malahan biasa-biasa saja.Â
Ternyata molor hanya terjadi jika rapat saja, saat ada undangan bantuan yang ada uangnya dan nilainya lumayan banyak dan disuruh membawa stempel lembaganya, mereka malahan hadir sebelum pelaksanaan waktu yang ditentukan, jika diminta hadir jam 09.00 WIB peserta akan datang 30 menit sebelumnya, khawatir nanti daftar tunggunya lama.Â
Bisakah budaya molor bisa dirubah, penulis menjawab bisa, sekelas institusi tentara dan polisi aja bisa, kenapa di institusi seperti pemerintah Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa pun bisa, asalkan ada kebijakan malu molor rapat, pemimpin rapat harus memulai dengan disiplin rapat, semakin kuat leader saat disiplin rapat, dipastikan peserta pun akan memilih dan memilah dengan skpd yang mengundang tepat waktu, namun jika kebiasan di insitusi tersebut molor dan pemimpinnya juga cuek maka dipastikan akan semakin kuatnya budaya molor.Â
Kapan budaya molor ini bisa dirubah, penulis menjawab harus secepatnya, jangan sampai ini menggurita dan melekat kuat, nantinya akan menjadi insiden buruk pada tatanan institusi pemerintah juga, akhirnya rasa kepercayaan dan juga penghargaan terhadap umaro menjadi berkurang, bagaimana suri tauladan akan melekat, jika pihak pemimpinnya memberikan contoh yang tidak baik.Â
Siapa yang bisa merubahnya, penulis menjawab harus ada kesadaran bersama, bahwa molor rapat itu tidak baik, waktu banyak terbuang, dan kasihan jika anggaran rapat itu berasal dari dana rakyat. Pejabat pengambil kebijakan harus mulai menata kembali bahwa molor itu sangat merugikan, segera mungkin dilakukan upaya disiplin rapat tepat pada waktunya.Â