Sosial media belakangan ini menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat. Sosial media telah menggantikan fungsi komunikasi yang sangat dasar. Namun, sosial media ternyata tidak selamanya memberi dampak yang baik. Dikarenakan sifatnya yang bebas dan terbuka, sosial media menjadi sarana menyampaikan pendapat yang paling diminati – tanpa harus memilik latar belakang pendidikan atau keahlian khusus seperti mengemukakan pendapat di forum terbuka atau media konfensional.
Sosial media memastikan semua pendapat didengar. Setidaknya bagi yang ingin mendengarkan pendapat tersebut. Tentu tidaklah salah jika kita mengemukakan pendapat dalam satu grup, misal facebook. Kita mengemukakan pendapat perihal kefanatikan terhadap satu sosok masyarakat. Karena group tersebut memang dikhususkan untuk membahas rasa kefanatikan yang sama. Lalu, apa yang terjadi jika pendapat kefanatikan tersebut dishare ke publik di luar group? tentu, tanggapannya akan beragam. Mulai dari yang pro dan kontra. Karena kefanatikan tidak bersifat universal, maka kisruh sosial media dimulai. Cyber bulying terjadi pada pendapat-pendapat yang dirasa tidak pada tempatnya atau pendapat-pendapat sekenanya dari yang bukan ahli di bidangnya. Semua tiba-tiba menjadi begitu ahli segala bidang di sosial media. Sekaligus intoleran pada perasan orang lain. Lalu, jika dirunut kembali, kenapa orang-orang di media sosial begitu intoleran? maka, ada dua hal komunikasi dasar yang aku temukan alfa di Internet dan sosial media.
Norma di Sosial Media
Bayangkan kita melakukan perbincangan di dunia nyata. ada dua situasi: satu, di warung kopi favorit pinggir jalan bersama teman-teman. kedua, bersama keluarga besar (dan mertua) di meja makan. apakah kita akan berprilaku sama di kedua tempat tersebut? Tentu tidak bukan? kita tidak akan berbicara kasar di depan keluarga besar, terlebih saat sedang makan. Ada mertua pula. Ada perangkat norma dan perilaku yang dianggap wajar tergantung pada seting atau latar belakang sosial dimana kita berada. Kita secara tidak sadar menyesuaikan diri. Berperilaku berbeda saat sedang bersama keluarga atau bersama teman, saat rapat atau saat menonton konser. Orang lain dan lokasi menjadi tanda untuk penyesuaian perilaku kita.
Di sosial media, perangkat norma dan perilaku seperti ini menjadi kabur. Nyaris tidak ada. Ditambah mudahnya mengekpresikan pendapat di media sosial dan asosiasi media sosial sebagai tempat “curhat, berteman dan bergaul” membuat kita lebih banyak mengekspresikan pendapat secara online. Termasuk pendapat kasar dan tidak pantas.
Anonimitas Internet
Internet pada dasarnya memfasilitasi anonimitas dan jarak fisik diantara dua orang atau lebih sekaligus secara mental menjadi alasan untuk lebih berani. Di sosial media, kita tembus pandang. Kasat mata. Anonim. Àku analogikan sebagai berikut: Jika suatu waktu, kita tergigit laba-laba dan tiba-tiba mendapatkan kekuatan super: Dapat menjadi kasat mata. Apa hal pertama yang akan kita lakukan? Beberapa dari kita pasti pertama kali berpikir melakukan sesuatu yang anonoh. Sisanya mungkin hal yang tidak pernah kita lakukan sebelumnya.
Menjadi kasat mata memberi kita kekuatan untuk melakukan hal yang tidak pernah kita lakukan. Perilaku konkritnya kadang sederhana: IG atau twitter digembok, Facebook tidak menggunakan nama asli, semua merupakan bentuk dari usaha anonimitas. Kita merasa aman melakukan apapun Karena dapat melakukannya secara anonim.
Anonimitas internet seperti jubah tembus pandang ala harry potter bagi pengguna social media. Dengan alter egonya, seseorang bisa mengeposkan komen yang kasar atau provikatif di social media dan tetap menjadi warga baik-baik di luar sosial media. Namun sejatinya, anonimitas internet adalah anonimitas semu. Kita dapat dilacak dari profil picture, alamat email, teman, atau informasi privat lainnya yang kita bagikan di social media.
Lalu bagaimana jika begini: jika saya melaporkan akun saya dicuri dan komen yang diposting bukan oleh saya, apa kita akan percaya?
Bagaimanapun, entah kita menggunakan akun palsu atau hal lain, kita selalu dapat terlacak. Korea selatan lebih maju perihal lacak melacak ini. Rumornya, kita bisa mendapatkan informasi meja kantor, atasan, nomor handphone dan alamat seseorang hanya dengan mengetahui akun twitternya.
Jadi, bagaimanapun anonimitas internet memberikan perlindungan, kita harus paham bahwa anonimitas itu terbatas. Pihak berwajib dapat memiliki akses untuk mencari informasi mengenai akun yang kita gunakan.
Sekali lagi, sosial media memang selayaknya menjadi media untuk bersosialisasi. Namun, dengan tetap bertata krama. Dengan tetap memiliki kerangka norma dan perilaku. Bahkan, kini Indonesia sudah menerapkan hukum ITE. Masyarakat yang cerdas, akan berpikir dahulu sebelum berkomentar atau mengemukakan suatu pendapat. Rumus sederhana berperilaku di internet: Jika kita tidak dapat mengucapkan apa yang akan kita poskan di meja makan bersama mertua, maka jangan. Niscaya, sosial media akan menjadi media bersosialisasi yang lebih menyenangkan. Terlebih untuk anak-anak kita. Seperti yang pernah saya bahas disini